Blog&fb: Hendra payobadar | Twitter : @payobadar

Besikap terlalu serius bisa mematikan mood orang disekitarmu

Hot in Week

Senin, 17 November 2014

PENELITIAN TINDAKAN KELAS


A.
Latar Belakang Masalah
Belakangan ini Penelitian Tindakan Kelas (PTK) semakin menjadi trend untuk dilakukan oleh para profesional sebagai upaya pemecahan masalah dan peningkatan mutu di berbagai bidang. Awal mulanya, PTK, ditujukan untuk mencari solusi terhadap masalah sosial (pengangguran, kenakalan remaja, dan lain-lain) yang berkembang di masyarakat pada saat itu. PTK dilakukan dengan diawali oleh suatu kajian terhadap masalah tersebut secara sistematis. Hal kajian ini kemudian dijadikan dasar untuk mengatasi masalah tersebut. Dalam proses pelaksanaan rencana yang telah disusun, kemudian dilakukan suatu observasi dan evaluasi yang dipakai sebagai masukan untuk melakukan refleksi atas apa yang terjadi pada tahap pelaksanaan. Hasil dari proses refeksi ini kemudian melandasi upaya perbaikan dan peryempurnaan rencana tindakan berikutnya. Tahapan-tahapan di atas dilakukan berulang-ulang dan berkesinambungan sampai suatu kualitas keberhasilan tertentu dapat tercapai.
Penelitian tindakan adalah suatu proses yang dilalui oleh perorangan atau kelompok yang menghendaki perubahan dalam situasi tertentu untuk menguji prosedur yang diperkirakan akan menghasilkan perubahan tersebut dan kemudian, setelah sampai pada tahap kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan, melaksanakan prosedur tersebut.
Penelitian Tindakan Kelas dengan istilah Classroom Action Research, disingkat CAR. Penelitian tersebut muncul karena adanya kesadaran pelaku kegiatan yang merasa tidak puas dengan hasil kerjanya. Dengan didasari atas kesadaran sendiri, pelaku yang bersangkutan mencoba menyempurnakan pekerjaannya, dengan cara melakukan percobaan yang dilakukan berulang – ulang, prosesnya diamati dengan sungguh – sungguh sampai mendapatkan proses yang dirasakan memberikan hasil yang lebih baik dari semula.
Dari semua bentuk penelitian maka penelitian tindakan kelas merupakan penelitian yang paling terapan dan praktis. Para penelitian tindakan kelas menyelidiki suatu problem khususnya problem pembelajaran dengan tujuan untuk mengembangkan suatu solusi dari problem tersebut. Dalam pembahasan ini akan dibahas pengertian penelitian tindakan kelas, prinsip – prinsip, model, jenis, karakteristik, tujuan, manfaat, serta kelemahan dan kelebihan dari tindakan kelas.

B. Rumusan Masalah
Dalam penulisan ini, ada beberapa hal yang ingin pemakalah ajukan sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari penelitian tindakan kelas?
2. Bagaimana prinsip dan model penelitian tindakan kelas?
3. Bagaimana jenis-jenis dan karakteristik penelitian tindakan kelas?
4. Apa saja tujuan dan manfaat penelitian tindakan kelas?
5. Apa kelemahan dan kelebihan dari penelitian tindakan kelas?
6. Mengapa perlu adanya sasaran atau obyek dari penelitian tindakan kelas?
7. Bagaimana pelaksanaaan penelitian tindakan kelas?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan merupakan titik akhir yang hendak dicapai dalam setiap kegiatan, karena bila tanpa tujuan kegiatan tersebut akan tidak mempunyai arah. Demikian dengan penulisan ini.Berangkat dari permasalahan-permasalahan diatas, maka tujuan yang hendak dicapai sebuah makalah ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian dari penelitian tindakan kelas.
2. Untuk mengetahui prinsip dan model penelitian tindakan kelas.
3. Untuk mengetahui jenis dan karakteristik penelitian tindakan kelas.
4. Untuk mengetahui tujuan dan manfaat dari penelitian tindakan kelas.
5. Untuk mengetahui kelemahan dan kelebihan dari penelitian tindakan kelas.
6. Untuk mengetahui adanya sasaran atau obyek dari penelitian tindakan kelas.
7. Untuk mengetahui pelaksanaan penelitian tindakan kelas.




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tindakan Kelas
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) merupakan ragam penelitian pembelajaran yang berkonteks kelas yang dilaksanakan oleh guru untuk memecahkan masalah-masalah pembelajaran yang dihadapi oleh guru, memperbaiki mutu dan hasil pembelajaran dan mencobakan hal-hal baru pembelajaran demi peningkatan mutu dan hasil pembelajaran.
Penelitian: menunjuk pada suatu kegiatan mencermati suatu objek dengan menggunakan cara dan urutan metodologi tertentu untuk memperoleh data atau informasi yang bermanfaat dalam meningkatkan mutu suatu hal yang menarik minat dan penting bagi peneliti.
Tindakan: menunjuk pada sesuatu gerak kegiatan yang sengaja dilakukan dengan tujuan tertentu.
Kelas: dalam hal ini tidak terikat pada pengertian ruang kelas, tetapi dalam pengertian yang lebih spesifik. Seperti yang sudah lama dikenal dalam bidang pendidikan dan pengajaran, yang dimaksud dengan istilah kelas adalah sekelompok siswa dalam waktu yang sama, menerima pelajaran yang sama dari guru yang sama pula.
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) pertama kali diperkenalkan oleh ahli psikologi sosial Amerika yang bernama Kurt Lewin pada tahun 1946. Inti gagasan Lewin inilah yang selanjutnya dikembangkan oleh ahli-ahli lain seperti Stephen Kemmis, Robin McTaggart, John Elliot, Dave Ebbutt, dan sebagainya. PTK di Indonesia baru dikenal pada akhir dekade 80-an. Oleh karenanya, sampai dewasa ini keberadaannya sebagai salah satu jenis penelitian masih sering menjadikan pro dan kontra, terutama jika dikaitkan dengan bobot keilmiahannya.
Jenis penelitian ini dapat dilakukan didalam bidang pengembangan organisasi, manejemen, kesehatan atau kedokteran, pendidikan, dan sebagainya. Di dalam bidang pendidikan penelitian ini dapat dilakukan pada skala makro ataupun mikro. Dalam skala mikro misalnya dilakukan di dalam kelas pada waktu berlangsungnya suatu kegiatan belajar-mengajar untuk suatu pokok bahasan tertentu pada suatu mata kuliah. Untuk lebih detailnya berikut ini akan dikemukan mengenai hakikat PTK.
Menurut John Elliot bahwa yang dimaksud dengan PTK ialah kajian tentang situasi sosial dengan maksud untuk meningkatkan kualitas tindakan di dalamnya (Elliot, 1982). Seluruh prosesnya, telaah, diagnosis, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan pengaruh menciptakan hubungan yang diperlukan antara evaluasi diri dari perkembangan profesional. Pendapat yang hampir senada dikemukakan Stephen Kemmis seperti dikutip D. Hopkins dalam bukunya yang berjudul A Teacher’s Guide to Classroom Research, menyatakan bahwa action research adalah: a from of self-reflektif inquiry undertaken by participants in a social (including education) situation in order to improve the rationality and of (a) their own social or educational practices justice (b) their understanding of these practices, and (c) the situastions in which practices are carried out.
Secara singkat PTK adalah suatu bentuk kajian yang bersifat reflektif oleh pelaku tindakan, untuk meningkatkan kemantapan rasional dari tindakan-tinakan mereka dalam melaksanakan tugas, memperdalam pemahaman terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan, serta memperbaiki dimana praktek-praktek pembelajaran dilaksanakan. Action research dipandang sebagai suatu cara untuk memberi ciri bagi seperangkat kegiatan yang direncanakan untuk meningkatkan mutu pendidikan; pada pokoknya ia merupakan suatu cara eklektik yang dituangkan ke dalam suatu program refleksi-diri (self-reflection) yang ditujuan untuk peningkatan mutu pendidikan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan PTK ialah suatu penelitian yang dilakukan secara sistematis reflektif terhadap berbagai tindakan yang dilakukan oleh guru yang sekaligus sebagai peneliti, sejak disusunnya suatu perencanaan sampai penilaian terhadap tindakan nyata di dalam kelas yang berupa kegiatan belajar-mengajar, untuk memperbaiki kondisi pembelajaran yang dilakukan. Sementara itu, dilaksanakannya PTK di antaranya untuk meningkatkan kualitas pendidikan atau pangajaran yang diselenggarakan oleh guru/pengajar-peneliti itu sendiri, yang dampaknya diharapkan tidak ada lagi permasalahan yang mengganjal di kelas.

B.     Prinsip dan Model Penelitian Tindakan Kelas
Agar peneliti memperoleh informasi atau kejelasan yang lebih baik tentang penelitian tindakan, perlu kiranya dipahami bersama prinsip-prinsip yang harus dipenuhi apabila akan melakukan penelitian tindakan kelas. Adapun prinsip-prinsip yang dimaksud antara lain:
1.      Penelitian tindakan kelas tidak boleh mengganggu kegiatan guru/dosen mengajar dikelasnya.
2.      Metode pengumpulan data yang digunakan tidak menuntut waktu yang berlebihan sehingga mengganggu proses pembelajaran.
3.      Metode yang digunakan harus cukup handal (reliable) sehingga memungkinkan guru/dosen mengindentifikasikan serta merumuskan hipotesis secara meyakinkan, mengembangkan strategi yang dapat diterapkan pada situasi kelasnya, serta memperoleh data yang dapat digunakan untuk menjawab hipotesis yang dikemukakannya.
4.      Masalah penelitian yang diangkat oleh guru/dosen seharusnya merupakan masalah yang benar-benar merisaukannya dan bertolak dari tanggungjawab profesionalnya.
5.      Dalam menyelenggarakan penelitian tindakan kelas guru/dosen harus bersifat konsisten menaruh kepedulian yang tinggi terhadap prosedur etika yang berkaitan dengan pekerjaannya.
6.      Dalam pelaksanaan penelitian tindakan kelas sejauh mungkin guru/dosen harus menggunakan wawasan yang lebih luas daripada perspektif kelas. Artinya, permasalahan tidak dilihat terbatas dalam konteks kelas dan atau mata pelajaran tertentu, melainkan dalam perspektif visi dan misi sekolah secara keseluruhan.
Ada beberapa model PTK yang sampai saat ini sering digunakan di dalam dunia pendidikan, di antaranya: (1) Model Kurt Lewin, (2) Model Kemmis dan Mc Taggart, (3) Model John Elliot, dan (4) Model Dave Ebbutt.
Model Kurt Lewin; di depan sudah disebutnya bahwa PTK pertama kali diperkenalkan oleh Kurt Lewin pada tahun 1946. konsep inti PTK yang diperkenalkan oleh Kurt Lewin ialah bahwa dalam satu siklus terdiri dari empat langkah, yaitu: (1) Perencanaan ( planning), (2) aksi atau tindakan (acting), (3) Observasi (observing), dan (4) refleksi (reflecting) (Lewin, 1990). Sementara itu, empat langkah dalam satu siklus yang dikemukakan oleh Kurt Lewin tersebut oleh Ernest T. Stringer dielaborasi lagi menjadi: (1) Perencanaan (planning), (2) Pelaksanaan (implementing), dan (3) Penilaian (evaluating) (Ernest, 1996).
Model John Elliot; apabila dibandingkan dua model yang sudah diutarakan di atas, yaitu Model Kurt Lewin dan Kemmis-McTaggart, PTK Model John Elliot ini tampak lebih detail dan rinci. Dikatakan demikian, oleh karena di dalam setiap siklus dimungkinkan terdiri dari beberapa aksi yaitu antara 3-5 aksi (tindakan). Sementara itu, setiap aksi kemungkinan terdiri dari beberapa langkah, yang terealisasi dalam bentuk kegiatan belajar-mengajar. Maksud disusunnya secara terinci pada PTK Model John Elliot ini, supaya terdapat kelancaran yang lebih tinggi antara taraf-taraf di dalam pelaksanan aksi atau proses belajar-mengajar. Selanjutnya, dijelaskan pula olehnya bahwa terincinya setiap aksi atau tindakan sehingga menjadi beberapa langkah oleh karena suatu pelajaran terdiri dari beberapa subpokok bahasan atau materi pelajaran. Di dalam kenyataan praktik di lapangan setiap pokok bahasan biasanya tidak akan dapat diselesaikan dalam satu langkah, tetapi akan diselesaikan dalam beberapa rupa itulah yang menyebabkan John Elliot menyusun model PTK yang berbeda secara skematis dengan kedua model sebelumnya, yaitu seperti dikemukakan berikut ini.
C.    Karakteristik dan Jenis Penelitian Tindakan Kelas

Ditinjau dari karakteristiknya, PTK setidaknya memiliki karakteristik antara lain: (1) didasarkan pada masalah yang dihadapi guru dalam instruksional; (2) adanya kolaborasi dalam pelaksanaannya; (3) penelitian sekaligus sebagai praktisi yang melakukan refleksi; (4) bertujuan memperbaiki dan atau meningkatkan kualitas praktek instruksional; (5) dilaksanakan dalam rangkaian langkah dengan beberapa siklus.
Menurut Richart Winter ada enam karekteristik PTK, yaitu (1) kritik reflektif, (2) kritik dialektis, (3) kolaboratif, (4) resiko, (5) susunan jamak, dan (6) internalisasi teori dan praktek (Winter, 1996). Untuk lebih jelasnya, berikut ini dikemukakan secara singkat karakteristik PTK tersebut.
Kritik Refeksi; salah satu langkah di dalam penelitian kualitatif pada umumnya, dan khususnya PTK ialah adanya upaya refleksi terhadap hasil observasi mengenai latar dan kegiatan suatu aksi. Hanya saja, di dalam PTK yang dimaksud dengan refleksi ialah suatu upaya evaluasi atau penilaian, dan refleksi ini perlu adanya upaya kritik sehingga dimungkinkan pada taraf evaluasi terhadap perubahan-perubahan.
Kritik Dialektis; dengan adanyan kritik dialektif diharapkan penelitian bersedia melakukan kritik terhadap fenomena yang ditelitinya. Selanjutnya peneliti akan bersedia melakukan pemeriksaan terhadap: (a) konteks hubungan secara menyeluruh yang merupakan satu unit walaupun dapat dipisahkan secara jelas, dan, (b) Struktur kontradiksi internal, -maksudnya di balik unit yang jelas, yang memungkinkan adanya kecenderungan mengalami perubahan meskipun sesuatu yang berada di balik unit tersebut bersifat stabil.
Kolaboratif; di dalam PTK diperlukan hadirnya suatu kerja sama dengan pihak-pihak lain seperti atasan, sejawat atau kolega, mahasiswa, dan sebagainya. Kesemuanya itu diharapkan dapat dijadikan sumber data atau data sumber. Mengapa demikian? Oleh karena pada hakikatnya kedudukan peneliti dalam PTK merupakan bagian dari situasi dan kondisi dari suatu latar yang ditelitinya. Peneliti tidak hanya sebagai pengamat, tetapi dia juga terlibat langsung dalam suatu proses situasi dan kondisi. Bentuk kerja sama atau kolaborasi di antara para anggota situasi dan kondisi itulah yang menyebabkan suatu proses dapat berlangsung. Kolaborasi dalam kesempatan ini ialah berupa sudut pandang yang disampaikan oleh setiap kolaborator.
Resiko; dengan adanya ciri resiko diharapkan dan dituntut agar peneliti berani mengambil resiko, terutama pada waktu proses penelitian berlangsung. Resiko yang mungkin ada diantaranya (a) melesetnya hipotesis dan (b) adanya tuntutan untuk melakukan suatu transformasi. Selanjutnya, melalui keterlibatan dalam proses penelitian, aksi peneliti kemungkinan akan mengalami perubahan pandangan karena ia menyaksikan sendiri adanya diskusi atau pertentangan dari para kalaborator dan selanjutnya menyebabkan pandangannya berubah.
Susunan Jamak; pada umumnya penelitian kuantitatif atau tradisional berstruktur tunggal karena ditentukan oleh suara tunggal, penelitinya. Akan tetapi, PTK memiliki struktur jamak karena jelas penelitian ini bersifat dialektis, reflektif, partisipasi atau kolaboratif. Susunan jamak ini berkaitan dengan pandangan bahwa fenomena yang diteliti harus mencakup semua komponen pokok supaya bersifat komprehensif. Suatu contoh, seandainya yang diteliti adalah situasi dan kondisi proses belajar-mengajar, situasinya harus meliputi paling tidak guru, siswa, tujuan pendidikan, tujuan pembelajaran, interaksi belajar-mengajar, lulusan atau hasil yang dicapai, dan sebagainya.
Internalisasi Teori dan Praktik; Menurut pandangan para ahli PTK bahwa antara teori dan praktik bukan merupakan dua dunia yang berlainan. Akan tetapi, keduanya merupakan dua tahap yang berbeda, yang saling bergantung, dan keduanya berfungsi untuk mendukung tranformasi. Pendapat ini berbeda dengan pandangan para ahli penelitian konvesional yang beranggapan bahwa teori dan praktik merupakan dua hal yang terpisah. Keberadaan teori diperuntukkan praktik, begitu pula sebaliknya sehingga keduanya dapat digunakan dan dikembangkan bersama.
Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa bentuk PTK benar-benar berbeda dengan bentuk penelitian yang lain, baik itu penelitian yang menggunakan paradigma kualitatif maupun paradigma kualitatif. Oleh karenanya, keberadaan bentuk PTK tidak perlu lagi diragukan, terutama sebagai upaya memperkaya khasanah kegiatan penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan taraf keilmiahannya.
Jenis Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
Ada empat jenis PTK, yaitu: (1) PTK diasnogtik, (2) PTK partisipan, (3) PTK empiris, dan (4) PTK eksperimental (Chein, 1990). Untuk lebih jelas, berikut dikemukakan secara singkat mengenai keempat jenis PTK tersebut.
PTK Diagnostik; yang dimaksud dengan PTK diagnostik ialah penelitian yang dirancang dengan menuntun peneliti ke arah suatu tindakan. Dalam hal ini peneliti mendiagnosia dan memasuki situasi yang terdapat di dalam latar penelitian. Sebagai contohnya ialah apabila peneliti berupaya menangani perselisihan, pertengkaran, konflik yang dilakukan antar siswa yang terdapat di suatu sekolah atau kelas.
PTK Partisipan; suatu penelitian dikatakan sebagai PTK partisipan ialah apabila orang yang akan melaksanakan penelian harus terlibat langsung dalam proses penelitian sejak awal sampai dengan hasil penelitian berupa laporan. Dengan demikian, sejak penencanan panelitian peneliti senantiasa terlibat, selanjutnya peneliti memantau, mencacat, dan mengumpulkan data, lalu menganalisa data serta berakhir dengan melaporkan hasil panelitiannya. PTK partisipasi dapat juga dilakukan di sekolah seperti halnya contoh pada butir a di atas. Hanya saja, di sini peneliti dituntut keterlibatannya secara langsung dan terus-menerus sejak awal sampai berakhir penelitian.
PTK Empiris; yang dimaksud dengan PTK empiris ialah apabila peneliti berupaya melaksanakan sesuatu tindakan atau aksi dan membukakan apa yang dilakukan dan apa yang terjadi selama aksi berlangsung. Pada prinsipnya proses penelitinya berkenan dengan penyimpanan catatan dan pengumpulan pengalaman penelti dalam pekerjaan sehari-hari.
PTK Eksperimental; yang dikategorikan sebagai PTK eksperimental ialah apabila PTK diselenggarakan dengan berupaya menerapkan berbagai teknik atau strategi secara efektif dan efisien di dalam suatu kegiatam belajar-mengajar. Di dalam kaitanya dengan kegitan belajar-mengajar, dimungkinkan terdapat lebih dari satu strategi atau teknik yang ditetapkan untuk mencapai suatu tujuan instruksional. Dengan diterapkannya PTK ini diharapkan peneliti dapat menentukan cara mana yang paling efektif dalam rangka untuk mencapai tujuan pengajaran.

D.    Tujuan dan Manfaat Penelitian Tindakan Kelas
Apabila kita mencermati pengertian penelitian tindakan kelas akan sangat jelas bahwa tujuan penelitian tindakan kelas adalah untuk memperbaiki praksis pembelajaran diharapkan kualitas proses belajar mengajar menjadi lebih baik, mengembangkan keahlian guru-dosen sebagai profesi pendidikan,sebab tugas utama guru-dosen adalah mengajar dan tiap metode penelitian manapun yang mereka gunakan tidak mengubah profesi dan etika pendidikan.
Kemudian manfaat dari penelitian tindakan kelas adalah sebagai suatu program perbaikan pendidikan dalam pembelajaran sekaligus merupakan program berdasar penelitian yang dilakukan terus menerus (on going process), dapat menumbuhkembangkan sikap inovatif dan budaya meneliti para guru ataupun para dosen, khususnya dalam mencari solusi terhadap permasalaahan pembelajaran di dalam kelas.

E.     Kelemahan dan Kelebihan Penelitian Tindakan Kelas
1. Kelemahan Penelitian Tindakan Kelas
a. Kurangnya pengetahuan dan keterampilan dalam teknik dasar penelitian karena terlalu banyak berurusan dengan hal-hal praktis.
b. Rendahnya efisien waktu karena pengajar harus punya komitmen peneliti untuk terlibat dalam prosesnya sementara pengajar masih harus melakukan tugas rutin.
c. Kesukaran evaluasi dan kerjasama.
2. Kelebihan Penelitian Tindakan Kelas
a. Peneliti dapat melakukan penelitian tanpa meninggalkan tempat kerja.
b. Peneliti dapat melakukan treatment (perlakuan) yang dilakukan pada responden dalam penelitian.
c. Responden dapat merasakan hasil dari treatment (perlakuan) yang diberikan.

F.     Adanya sasaran atau Obyek Penelitian Tindakan Kelas
Yang dibicarakan dalam bagian ini adalah sasaran atau obyek yang dijadikan pokok pembicaraan dalam peenelitian tindakan kelas sesuai dengan prinsip kedua bahwa penelitian tindakan kelas harus tertuju atau mengenai hal-hal yang terjadi didalam kelas. Pengertian kelas dalam penelitian tindakan kelas ini tidak hanya terbatas pada kelas yang sedang aktif melangsungkan pembelajaran didalam sebuah ruangan tertutup saja, tetapi dapat juga ketika anak sedang tidak aktif belajar, yaitu ketika sedang melakukan karyawisata di objek wisata, di laboraturrium, di rumah, aatau ditempat lain, ketika siswa sedang mengerjakn tugas yang diberikan oleh guru, dan sebagainya. Dengan lokasi bukan kelas ini, yang diamati harus berupa kegiatan yang sedang dilakukan oleh anak.
Apabila kita berfikir sistematik (memandang sesuatu selalu dalam keseluruhan dan dalam kaitan dengan unsur lain), yaitu mengajak alam berfikir kita kedalam kerangka sebuah unit atau kesatuan yang terdiri beberapa komponen pembentuk sistem, maka sebuah kels dapat kita lihat sebage satu kkesatuan unsure yang bersangkut-paut dan bekerja menuju tujuan tertentu. Komponen-komponen dari sebuah kelas adalah (1) siswa itu sendiri, (2) guru yang sedang mengajar, (3) materi pelajaran, (4) peralatan yang digunakan, (5) hasil pembelajaran, (6) lingkungan pembelajaran, dan (7) pengelolaan/pengaturan yang dilakukan oleh pemimpin sekolah. Unsur - unsur pembelajaran tersebut saling kait-mengait, masing-masing bergerak sesuai dengan fungsi dan perannya.
 Fungsi atau peran tersebut dapat dicermati ketika pembelajaran sedang berlangsung maupun tidak. Dengan demikian objek amatan dalam penelitian tindakan kelas tidak harus selalu kita proses pembelajaran sedangkan berlangsung karena kelas bukan ruangan tetapi sekelompok siswa. Hal-hal yang dapat diamati sehubungan dengan setiap unsur pembelajaran tersebut antara lain adalah sebagaimana yang disajikan dalam bagian berikut. Sesuai dengan prinsip bahwa ada tindakan yang dirancang sebelumya maka objek penelitian tindakan kelas harus merupakan suatu yang aktif dan dapat dikenai aktifitas, bukan objek yang sedang diam dan tanpa gerak.

G.    Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas
Jika semua tindakan persiapan telah selesai,scenario tindakan perbaikan yang telah di rencanakan itu dapat di laksanakan dalam situasi yang aktual. Kegiatan pelaksanaan tindakan perbaikan ini merupakan tindakan pokok dalam siklus PTK, dan sebagaimana telah diisyaratkan di atas,pada saat bersamaan kegiatan pelaksanaan ini juga disertai dengan kegiatan observasi dan interpretasi serta diikuti dengan kegiatan refleksi.
Penggabungan pelaksanaan tindakan dengan kegiatan observasi interpretasi perlu dicermati benar sebab merupakan cirri khas PTK. Observasi dan interpretasi memang lazim dalam konteks supervisi pengajaran, akan tetapi sebagaimana diisyaratkan dalam bagian terdahulu dan kembali ditekankan di atas, PTK bukan supervise pengajaran,meskipun memang mungkin saja dalam PTK juga tergelar dimensi supervisi pengajaran. Sebagaimana telah diisyaratkan, yang penting dicatat adalah bahwa dalam konteks PTK, supervisi pengajaran yang berpeluang terjadi adalah supervisi kejawatan (peer supervision). Dengan kata lain,berbeda dan konteks supervisi pada umumnya dimana terdapat peranan supervisor-supervisor dalam tata hubungan yang bersifat subordinatif, sebaliknya dalam konteks PTK terdapat keterlibatan dua pihak yang setara sehingga mekanisme yang tergelar lebih menyerupai interaksi kesejawatan (peer to peer).
Observasi dan interpretasi dalam konteks juga memang lazim dalam konteks penelitian formal,namun sebagaimana ditekankan dalam bagian terdahulu,konteks dan filosofi PTK berbeda dari konteks dan filosofi penelitian formal. Dengan kata lain, berbeda dari yang terjadi dalam kontekks PTK , observasi dan interpretasi dalam konteks penelitian formal itu dilakukan oleh orang luar bukan oleh pelaku yang terlibat secara langsung dalam pembelajaran.
























PEMBELAJARAN DENGAN MODUL (MODULAR INSTRUCTION)

Pembelajaran dengan modul adalah suatu proses pembelajaran mengenai suatu satuan bahasan tertentu yang disusun secara sistematis, operasional dan terarah untuk digunakan oleh peserta didik, disertai dengan pedoman penggunaannya untuk para guru.
Pembelajaran dengan sistem modul memiliki karakteristik sebagai berikut :
1.      Setiap modul harus memberikan informasi dan petunjuk pelaksanaan yang jelas tentang apa yang harus dilakukan oleh peserta didik, bagaimana melakukan, dan sumber belajar apa yang harus digunakan.
2.      Modul merupakan pembelajaran individual, sehingga mengupayakan untuk melibatkan sebanyak mungkin karakteristik peserta didik. Dalam setiap modul harus :
a.       Memungkinkan peserta didik mengalami kemajuan belajar sesuai dengan kemampuannya.
b.      Memungkinkan pesertadidik mengukur kemajuan belajar yang telah diperoleh.
c.       Memfokuskan peserta didik pada tujuan pembelajaran yang spesifik dan dapat diukur.
3.      Pengalaman belajar dalam modul disediakan untuk membantu peserta didik mencapai tujuan pembelajaran seefektif dan seefisien mungkin,serta memungkinkan peserta didik untuk melakukan pembelajaran secara aktif, tidak sekedar membaca dan mendengar tapi lebih dari itu,modul memberikan kesempatan untuk bermain peran (role playing), simulasi dan berdiskusi.
4.      Materi pembelajaran disajikan secara logis dan sistematis, sehingga peserta didik dapat mengetahui kapan dia memulai dan mengakhiri suatu modul,serta tidak menimbulkan pertanyaan mengenai apayang harus dilakukan atau dipelajari.
5.      Setiap modul memiliki mekanisme untuk mengukur pencapaian tujuan belajar peserta didik,terutama untuk memberikan umpan balik bagi peserta didik dalam mencapai ketuntasan belajar.

Pada umumnya pembelajaran dengan sistem modul akan melibatkan beberapa komponen,diantaranya:
1)      Lembar kegiatan peserta didik
2)      Lembar kerja
3)      Kunci lembar kerja
4)      Lembar soal
5)      Lembar jawaban
6)      Kunci jawaban

Komponen –komponen tersebut dikemas dalam format modul,sebagai berikut :
1.      Pendahuluan
Ø  Yang berisi deskripsi umum, seperti materi yang disajikan,pengetahuan,keterampilan,dan sikap yang dicapai setelah belajar,termasuk kemampuan awal yang harus dimiliki untuk mempelajari modul tersebut.
2.      Tujuan pembelajaran
Ø  Berisi tujuan pembelajarn khusus yang harus dicapai peserta didik, setelah mempelajari modul.dalam bagian ini dimuat pula tujuan terminal dan tujuan akhir,serta kondisi untuk mencapai tujuan.
3.      Tes awal
Ø  Yang digunakan untuk menetapkan posisi peserta didik dan mengetahui kemampuan awalnya, untuk menentukan darimana ia harus memulai belajar,dan apakah perlu untuk mempelajari atau tidak modul tersebut.
4.      Pengalaman belajar
Ø  Yang berisi rincian materi untuk setiap tujuan pembelajaran khusus, diikuti dengan penilaian formatif sebagai balikan bagi peserta didik tentang tujuan belajar yang dicapai.
5.      Sumber belajar
Ø  Berisi tentang sumber-sumber belajar yang dapat ditelusuri dan digunakan oleh peserta didik
6.      Tes akhir
Ø  Instrumen yang digunakan dalamtes akhir samadengan yang digunakan pada tes awal, hanya lebih difokuskan pada tujuan terminal setiap modul.

Tugas utama guru dalam pembelajaran sistem modul adalah mengorganisasikan dan mengatur proses belajar, antara lain :
1)      Menyiapkan situasi pembelajaran yang kondusif
2)      Membantu peserta didik yang mengalami kesulitan dalam memahami isi modul atau pelaksanaan tugas
3)      Melaksanakan penelitian terhadap setiap peserta didik
 
Referensi
Sofan Amri,S.Pd & Iif Khoiru Ahmadi,S.Pd.,M.Pd. 2010. Konstruksi Pengembangan Pembelajaran. Jakarta: PT Prestasi Pustakaraya
Menurut Suryosubroto (1983: 17) modul adalah satu unit program belajar mengajar terkecil yang secara terperinci menggariskan:
  1. Tujuan pembelajaran yang akan dicapai
  2. Topik yang akan dijadikan pangkal proses belajar mengajar
  3. Pokok-pokok materi yang akan dipelajari
  4. Kedudukan dan fungsi modul dalam kesatuan program yang lebih luas
  5. Peranan guru dalam proses pembelajaran
  6. Alat-alat dan sumber yang akan dipergunakan
  7. Kegiatan-kegiatan belajar yang harus dilakukan dan dihayati murid secara berurutan
  8. Lembaran kerja yang harus diisi oleh anak
  9. Program evaluasi yang akan dilaksanakan
Modul yang akan digunakan dalam kegiatan belajar mengajar memiliki sifat-sifat yang khas, diantaranya adalah:
  1. Modul itu merupakan unit pengajaran terkecil dan lengkap
  2. Modul itu memuat rangkaian kegiatan belajar yang direncakan dan sistematik
  3. Modul memuat tujuan belajar yang dirumuskan secara jelas dan spesifik (khusus)
  4. Modul memungkinkan siswa belajar sendiri
  5. Modul merupakan realisasi pengakuan perbedaan individual dan merupakan salah satu perwujudan pengajaran individual
Dalam penggunaan modul pembelajaran pada kegiatan belajar mengajar diantaranya sebagai berikut:
  1. Tujuan pendidikan dapat dicapai secara efisien dan efektif
  2. Murid dapat mengikuti program pendidikan sesuai dengan kecepatan  dan sendiri
  3. Murid dapat sebanyak mungkin menghayati dan melakukan kegiatan belajar sendiri, baik di bawah bimbingan atau tanpa bimbingan
  4. Murid dapat menilai dan mengetahui hasil belajarnya sendiri secara berkelanjutan
  5. Murid benar-benar menjadi titik pusat kegiatan belajar mengajar
  6. Kemajuan siswa dapat diikuti dengan frekuensi yang lebih tinggi melalui evaluasi yang dilakukan pada setiap modul berakhir.
  7. Modul  disusun dengan berdasarkan pada konsep “mastery learning” suatu konsep yang menekankan bahwa murid harus secara optimal menguasai bahan pelajaran yang disajikan dalam modul ini. Prinsip ini mengandung konsekuensi bahwa seorang murid tidak diperbolehkan mengikuti program berikutnya sebelum ia menguasai paling sedikit 75% dari bahan tersebut.
Langkah-langkah penyusunan modul
Suatu modul yang digunakan di sekolah, disusun atau ditulis dengan langkah-langkah sebagai berikut:
  1. Menyusun kerangka modul
    1. Menetapkan tujuan pembelajaran umum yang akan dicapai dengan mempelajari modul tersebut.
    2. Merumuskan tujuan pembelajaran khusus yang merupakan perincian atau pengkhususan dari tujuan pembelajaran umum
    3. Menyusun soal-soal penilaian untuk mengukur sejauh mana tujuan pembelajaran khusus bisa dicapai
    4. Indentifikasi pokok-pokok materi pelajaran yang sesuai dengan setiap tujuan pembelajaran khusus
    5. Mengatur/ menyusun pokok-pokok materi tersebut di dalam urutan yang logis dan fungsional
    6. Menyusun langkah-langkah kegiatan belajar murid
    7. Pemeriksaan sejauh mana langkah-langkah kegiatan belajar siswa
    8. Indentifikasi alat-alat yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan belajar dengan modul tersebut.
    9. Menyusun program secara terperinci meliputi pembuatan semua unsur modul yakni petunjuk guru, lebar kegiatan siswa, lembar kerja siswa, lembar jawaban, lembar penilaian (tes) dan lembar jawaban tes.
Modul dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu modul pokok dan modul pengayaan. Modul-modul pokok merupakan urutan sturi yang harus diikuti oleh semua siswa. Dengan menyelesaikan set-set modul pokok dalam suatu bidang studi, seorang siswa berhak untuk dinaikkan ke jenjang berikutnya dalam struktur sekolah. Maka modul-mosul pokok itu harus disiapkan dalam suatu bentuk yang memungkinkan hampir semua siswa dapat mengerjakan dengan berhasil baik dalam jangka waktu tertentu.
Siswa-siswa yang berkemampuan lebih di atas rata-rata, biasanya mampu menyelesaikan dengan baik modul-modul pokok lebih dahulu dibandingkan dengan siswa yang lain. Kepada mereka ini perlu diberikan kegiatan atau program tambahan yang bersifat ekstra.
Program pendidikan tambahan ini disebut dengan program pengayaan. Program ini dapat bersifat memperluas (horizontal) dan atau bersifat memperdalam (vertikal). Apabila setiap unit program pengayaan ini disusun dalam bentuk modul maka modul demikian ini adalah modul pengayaan.
Dengan tersedianya modul-modul pengayaan sekolah tidak akan menghambat siswa-siswa yang belajar dengan cepat. Mengkombinasikan modul pokok dengan modul pengayaan untuk berbagai studi berarti sekolah memberikan kemungkinan bagi siswa untuk belajar secara mamju berkelanjutan sesuai dengan kemampuan taraf motivasi dan bidang-bidang minatnya masing-masing.
Di sinilah pelaksanaan asa ‘Continuous Progress’ itu dalam kegiatan belajar mengajar. Sistem ini memungkinkan bagi siswa yang rata-rata atau lambat dalam belajarnya akan mampu juga menguasai modul pokok sebelum mereka diharuskan mempelajari modul pokok berikutnya.
Kombinasikan modul pokok dan modul pengayaan untuk tiap bidang studi pada tiap kelas ada beberapa kemungkinan:
  1. Kemungkinan pertama, ialah setiap modul pokok dilengkapi dengan satu atau beberapa mosul pengayaan
  2. Kemungkinan kedua, sejumlah modul pokok untuk jangka waktu tertentu misalnya satu semester dilengkapi dengan sejumlah modul pengayaan
  3. Kemungkinan ketiga, modul pokok untuk program satu tingkat (1 tahun) dilengkapi dengan sejumlah modul pengayaan
  4. Kemungkinan keempat, modul pokok untuk program satu terminal pendidikan (3 tahun, 5 tahun, 8 tahun) dilengkapi sejumlah modul pengayaan
Tentu saja beberapa kemungkinan tersebut menimbulkan perbedaan-perbedaan dalam pelaksanaan pengajaran dan pengelolaan kelas. Perlu diperhatikan benar adalah bahwa program pengayaan itu tidak harus selalu berbentuk mosul pengayaan. Program pengayaan yang non mosul itu disebut dengan kegiatan pengayaan, misalnya membantu guru menyiapakan alat-alat pengajaran, membantu siswa yang lain yang mengalami kesukaran dalam menyelesaikan modul pokok, membaca di perpustakaan dan lain-lain.
Perlu diingat juga adalah bahwa modul-modul pengayaan untuk setiap modul pokok berbeda panjangnya. Apabila seorang siswa hanya mempunyai kelebihan waktu setalah jam pelajaran, berarti ia perlu memperoleh modul pengayaan yang lebih pendek dibandingkan dengan teman lainnya yang mempunyai kelebihan waktu satu pelajaran penuh. Ada kemungkinan bahwa suatu modul pengayaan harus diselesaikan dalam waktu beberapa hari. Untuk menyelesaikan program tambahan ini, siswa dapat bekerja di sekolah atau di rumah.
Unsur-unsur modul
Berdasarkan dari batasan pengertian tentang modul, kiranya dapat diuraikan secara terperinci unsur-unsur modul  atau komponen-komponen modul. Perlu diketahui bahwa modul yang dikembangkan melalui Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) di Indonesia dewasa ini berbentuk buku kecil (booklet). Dari satu berkas buku kecil yang disebut modul itu terdiri atas unsur-unsur sebagai berikut:
  1. Pedoman guru
Pedoman guru berisi petunjuk-petunjuk guru agar pengajaran dapat diselenggarakan secara efisien. Juga memberi penjelasan tentang;
  1. Macam-macam kegiatan yang harus dilakukan oleh kelas
  2. Waktu yang disediakan untuk menyelesaikan modul
  3. Alat-alat pengajaran yang harus digunakan
  4. Petunjuk-petunjuk evaluasi
  5. Lembaran kegiatan siswa
Lembaran kegiatan ini memuat materi pelajaran yang harus dikuasai oleh siswa. Penyusunan materi pelajaran ini disesuaikan dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai yang telah dirumuskan dalam modul itu, materi pelajaran juga disusun secara teratur langkah demi langkah sehingga dapat diikuti dengan mudah oleh siswa
Dalam lembaran kegiatan tercantum pula kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan siswa, misalnya pengadakan percobaan, membaca kamus, dan sebagainya. Mungkin pula mencantumkan buku-buku yang harus dipelajari siswa sebagai pelengkap materi yang terdapat dalam modul.
  1. Lembaran kerja
Lembaran kerja ini menyertai lembaran kegiatan siswa, digunakan untuk menjawab atau mengerjakan soal-soal tugas-tugas atau masalah-masalah yang harus dipecahkan. Lembar kegiatan siswa itu sendiri harus dijaga supaya tetap bersih, tidak boleh ada coretan apapun didalamnya, sebab buku modul ini akan digunakan lagi untuk siswa-siswa yang lain pada tahun berikutnya. Jadi setelah siswa memperlajari lembar kegiatan, mereka harus bekerja atau melaksanakan kegiatan-kegiatan pada lembaran kerja ini.
  1. Kunci lembaran siswa
Maksud diberikannya kunci lembaran siswa ialah agar siswa dapat mengevaluasi sendiri hasil pekerjaannya. Apabila siswa membuat kesalahan-kesalahan dalam pekerjaannya maka ia dapat meninjau kembali pekerjaannya.
  1. Lembaran tes
Tiap modul disertai lembaran tes, yakni alat evaluasi yang digunakan sebagai pengukur keberhasilan atau tercapai tidaknya tujuan yang telah dirumuskan dalam modul  itu. Jadi keberhasilan pengajaran dengan sesuatu modul tidak dinilai atas dasar jawaban-jawaban pada lembaran kerja. Jadi lembaran tes berisi soal-soal untuk menilai keberhasilan murid dalam mempelajari bahan yang disajikan dalam modul tersebut.
  1. Kunci lembaran tes
Tes ini disusun oleh penulis modul yang bersangkutan, sehingga kunci tes ini pun juga dibuat oleh penulisan modul. Gunanya sebagai alat koreksi sendiri terhadap penilaian yang dilaksanakan.

Buku sumber:

Suryosubroto. 1983. Sistem Pengajaran dengan Modul. BINA AKSARA

CURRICULUM AND ITS GLOBAL CONTEXTS

“CURRICULUM AND ITS GLOBAL CONTEXTS”

A.      Wacana tentang akuntabilitas dan neo-progresivisme kurikulum
Tahun 1990-an yang ditandai dengan pembaruan kurikulum yang signifikan di Asia dan Australia. Namun ada beberapa perbedaan yang signifikan tersebut tentang cara perubahannya. Di Australia ada banyak obsesi terhadap akuntabilitas kurikulum. Asal mula obsesi ini yaitu pada pelatihan kurikulum nasional yang dilakukan pada 1980-an dan awal 1990-an. Awalnya, difokuskan pada persamaan dan perbedaan isi kurikulum antar Negara / Wilayah, dimungkinkan untuk mengembangkan materi yang sama, dan diharapkan adanya efisiensi dan penghematan biaya. Namun, fokus materi/isi berubah ketika perhatian ditujukan untuk penilaian dan pengembangkan kemajuan belajar.
Diluar dari isi (materi)/penilaian, “Curriculum Statement and Profiles” menggambarkan isi kurikulum disertai dengan perkembangan pembelajaran yang memungkinkan untuk kemajuan belajar siswa yang dipantau dari apa yang dilihat “Typical Progress”. Guru bertanggung jawab untuk memfasilitasi dan memonitor pembelajaran dan hasil kurikulum, secara alami guru berada satu bingkai dengan kurikulum.
Obsesi dengan akuntabilitas masih dipertahankan sampai sekarang. Hal ini ditandai oleh Program Penilaian Nasional yang secara teratur melakukan pengujian sampel siswa di seluruh Negara / Wilayah pada mata pelajaran sekolah yang dipilih. Di samping itu, Pembelajaran kini telah dikembangkan dalam Bahasa Inggris, Matematika, Sains, Kewarganegaraan dan Pendidikan Kewarganegaraan dan Informasi dan Teknologi Komunikasi. Diharapkan hal ini akan mendorong pengembangan kurikulum di Negara / Wilayah untuk menghasilkan kurikulum yang lebih konsisten secara nasional. Reformasi kurikulum di Australia, karena telah didominasi oleh hasil siswa, dan pemantauan hasil ini dengan rezim penilaian dan akuntabilitas yang kadang-kadang menghilangkan kebutuhan untuk pemikiran baru dan inovatif pada saat terjadi pergolakan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam lingkungan luar sekolah.
Contoh dari wacana akuntabilitas yang telah mendominasi kurikulum Australia selama lebih dari satu dekade dapat dilihat di Victoria, yang saat ini menerapkan Victorian Essential Learning Standards. Sebelum mengembangkan standar-standar, pemerintah Victoria meluncurkan “Victoria Curriculum Reform 2004 Consultation Paper (Victorian Assessment and Curriculum authority 2004) untuk mendapatkan pandangan masyarakat terhadap reformasi yang diusulkan. Alasan untuk reformasi dikaitkan dengan perubahan kondisi sosial dan ekonomi, tetapi pada setiap pendapat mempunyai alasan untuk perubahan, pendapat yang jelas tentang cara di mana kurikulum inovatif akan diakhiri oleh persyaratan penilaian dan akuntabilitas. Hal ini menekankan pada persyaratan seperti:
·         Mengidentifikasi standar yang jelas yang harus dicapai oleh semua siswa di suatu daerah.
·         Mempromosikan berbagai prosedur penilaian yang jelas terkait dengan konten/isi, yang memungkinkan pencapaian standar yang harus ditunjukkan dan menunjukkan jalan ke depan untuk belajar yang produktif.(Victorian Assessment and Curriculum Authority 2004, p.2)

Ketegangan antara kurikulum dan penilaian dalam tidak yang baru-tapi juga bukan tak terelakkan. Hal ini ditunjukkan dalam serangkaian prpoposals kurikulum refrorm diresmikan di wilayah Asia-Pasifik pada akhir tahun 1990an dan awal abad baru. Di Hong Kong esensi dari reformasi dapat dilihat pada proposal untuk reformasi kurikulum dirilis pada Belajar Untuk Belajar: Langkah ke Depan di Kurikulum Pengembangan (Pengembangan Kurikulum Council 2001). Di singapura, reformasi kurikulum sejak tahun 1997 telah didorong oleh visi "sekolah berpikir, (Goh 1997) dan pada tahun 1998 Taiwan, menuju masyarakat belajar (Kementerian Pendidikan 1999) 'yang dirancang untuk mempromosikan konsep pendidikan seumur hidup '. Unsur umum dalam upaya reformasi daerah ini adalah pengakuan bahwa pengetahuan berbasis ekonomi 'diperlukan pendekatan yang berbeda secara fundamental dengan kurikulum. Bisa tidak lagi menjadi kurikulum akademis tradisional didominasi oleh Kebudayaan pemeriksaan yang mendorong belajar hafalan dan pengulangan. Reformasi Hong Kong telah dijelaskan dengan cara ini:
Untuk menghargai sifat ini (yaitu Hong Kong) usulan, perlu untuk memahami bahwa mereka mewakili perubahan radikal dari kurikulum akademis tradisional yang telah ditandai sekolah Hong Kong selama bertahun-tahun (Morris 1996, hal. 160). Fokus mereka pada siswa bukan subyek, belajar daripada pengujian dan pada semua siswa daripada siswa elit jelas menandai arah struktural baru untuk seluruh kurikulum sekolah. Terlebih lagi, reformasi ini berbeda dalam asal dan tujuan dari reformasi sebelumnya ... reformasi ini didasarkan pada pandangan pembangunan ekonomi yang nilai-nilai pembelajaran untuk kapasitasnya untuk mengembangkan inovasi, kreativitas, keterampilan pemecahan masalah dan wirausaha. Dalam arti penting, itu adalah cara yang berbeda dalam memandang belajar-untuk melihat tidak begitu banyak sebagai tujuan itu sendiri, tetapi sebagai alat untuk mencapai tujuan yang pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. (Kennedy 2005, hal. 111). Dicetak ulang dengan izin dari The Chinese University of Hong Kong.
            Alasan untuk menjelaskan mengapa para pembuat kebijakan mengambil pendekatan yang berbeda terhadap kurikulum sekolah mungkin budaya, politik, sosial, ekonomi atau bahkan pendidikan. Intinya adalah bahwa kurikulum sekolah dapat dibangun dengan semua kekuatan ini, penilaian ditekankan kurang dari di Australia sehingga mendorong pindah dari reformasi Asia. Sejumlah penulis, misalnya, telah menunjuk lampiran muncul untuk standar penilaian yang berbasis di Asia (Wardlaw 2002; Doong 2004). Selain itu, di banyak bagian pemeriksaan terminal Asia masih memainkan peran penting dalam memilih siswa untuk pendidikan lebih lanjut. Intinya adalah bahwa reformis Asia tampaknya telah memilih untuk tidak menyorot penilaian sebagai bagian dari proses publik membujuk masyarakat perlunya agenda reformasi. Di Victoria, pembuat kebijakan mungkin telah memutuskan bahwa reformasi hanya dapat dicapai jika ada jaminan tentang penilaian dan akuntabilitas. Penjelasan ini, tentu saja, spekulatif. Namun mereka menyoroti titik bahwa kurikulum sekolah akan selalu terjebak dalam kompleksitas dan variasi yang dibangun oleh situasi lokal dan nilai-nilai dan terus-menerus menentang interpretasi sederhana. Untuk mengharapkan sebaliknya adalah meremehkan sifat diperebutkan kurikulum dan konteks sosial di mana ia tertanam.

B.            Kurikulum ‘Dunia Nyata’ : Tapi Kenyataan?
Reformasi kurikulum sebagaimana dimaksud dalam bagian sebelumnya dibedakan sesuai dengan penekanan pada penilaian dan akuntabilitas, namun keduanya juga memiliki satu kesamaan: mereka mewakili agenda reformasi bagi masyarakat industrialis maju. Dihadapkan dengan daya saing perekonomian yang meningkat melalui proses globalisasi, masyarakat ini mengakui perlunya populasi yang terampil yang dapat memberikan nilai tambah bagi perekonomian dengan meningkatkan inovasi, kreativitas dan kewirausahaan. Kenyataannya, adanya kebutuhan atas kurikulum sekolah yang bisa menghasilkan perangkat untuk anak muda. Mudah-mudahan juga, atribut-atribut yang sama juga akan membantu dalam pengembangan warga negara yang aktif dan informasi yang mampu melindungi kebebasan individu dan hak-hak di dunia yang semakin bergolak dan tidak pasti.
Namun konteks ekonomi yang membentuk kurikulum reformasi dalam masyarakat industri maju belum memberikan dampak yang sama di negara lain. Di negara-negara tersebut, reformasi kurikulum dan prioritasnya harus merespon globalisasi untuk bertahan hidup dalam lingkungan global yang sangat kompetitif. Secara umum, negara-negara tersebut tidak berusaha untuk mendorong agenda globalisasi, seperti yang terjadi dalam masyarakat industri maju. Masyarakat berusaha untuk memaksimalkan manfaat dari ekonomi global, sementara negara-negara kurang maju berusaha untuk membatasi dampak negatif dari kebijakan ekonomi tersebut pada pembangunan daerah. Dengan demikian, tidak ada agenda reformasi kurikulum yang universal.
Sifat reformasi kurikulum di seluruh bagian industri non Asia Pasifik ditentukan oleh satu kumpulan yang sangat berbeda dari masalah dan isu-isu. Kennedy (2003) telah menunjukkan bahwa, belajar seumur hidup memberikan wacana kebijakan umum di negara-negara berkembang di Asia, konteks kebijakan yang sangat berbeda. Aspek yang paling penting dari konteks ini, menyangkut orang-orang muda, telah disorot oleh Jones (1997, hal.29): ‘banyak. . . remaja memiliki akses ke sekolah menengah dan dalam beberapa kasus, bahkan untuk sekolah dasar ‘. Respon terhadap masalah akses tersebut masih jauh dari apa yang mungkin diterima di negara-negara industri. Sedangkan pada doamin teknologi informasi (TI) merupakan solusi kebijakan yang disukai untuk melaksanakan pendidikan secara massa, Kennedy (2003) telah menyarankan bahwa tempat lain seperti pendidikan non-formal (NFE) mungkin cara yang lebih baik untuk memberikan akses pendidikan. Ini sejalan dengan rekomendasi dari UNESCO:
Keuntungan dari pendidikan non formal adalah struktur formal tidak diperlukan untuk belajar secara langsung. Selain melibatkan penyedia layanan selain pemerintah, dan diharuskanya peserta didik datang ke lokasi fisik tertentu. Cara orang dewasa belajar dan berbeda dari cara anak-anak belajar. Mendasari hal ini, fleksibilitas pada NFE mempunyai karakteristik yang penting dalam konteks ekonomi dan sosial yang berubah dengan cepat untuk menghadapi orang-orang muda di masa depan (Kennedy 2003, p.223)
Namun bahkan jika NFE adalah mekanisme pengiriman utama untuk pendidikan massa, di sini adalah masalah substansi kurikulum sekolah --- apa yang akan dimasukkan dalam hal pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai. Ini bukan pertanyaan akademik, melainkan pertanyaan didorong oleh statistik yang mengancam jiwa seperti berikut:

-Pada tahun 2020, 87% dari orang-orang muda akan hidup di negara-negara berkembang
- Persentase besar dari orang-orang muda akan aktif secara seksual, tidak menggunakan kontrasepsi yang memadai, dan menderita luar biasa akibat masalah kesehatan reproduksi termasuk komplikasi yang berhubungan dengan kehamilan, HIV / AIDS dan STD, dan mutilasi alat kelamin perempuan (FGM). (Bank Dunia 1998)

Menanggapi isu ini, Kennedy telah berkomentar:
Maskapai sedikit keraguan bahwa pendidikan kesehatan harus menjadi companent inti dari setiap kurikulum yang dirancang untuk people.they muda harus memiliki akses ke informasi dan mereka juga harus memiliki akses ke sarana yang mereka dapat praktik seks aman. Seperti pendidikan sekolah pada umumnya, hal ini tidak dapat bergantung pada sistem pendidikan formal. Sarana pendidikan harus lebih didasarkan masyarakat dan harus tersedia dalam cara yang akan terhubung dengan orang-orang muda di mana mereka berada. (Kennedy 2003, hal. 244)
Titik untuk dicatat di sini adalah bahwa pendidikan kesehatan tidak dapat menjadi opsional ekstra-seperti yang sering di Barat-itu adalah-mengatakan hidup yang penting. Hal yang sama dapat dikatakan untuk pendidikan kewirausahaan. Pendidikan semacam adalah tujuan utama di tempat-tempat seperti Singapura, Taiwan dan bahkan Australia, berupaya memaksimalkan daya saing ekonomi melalui inovasi yang terus meningkat dan nilai tambah proses. Namun di bagian non-industri di Asia, motif yang berbeda:
Dimulai bisa dilakukan anak-anak muda sendiri apa yang mereka yakini untuk meningkatkan prospek pekerjaan mereka. Ini didasarkan pada aspek positif dari kecenderungan banyak orang muda untuk mengambil risiko perilaku. Hal ini juga didasarkan pada preferensi mereka sendiri untuk bekerja seperti wirausaha di mana mereka memiliki otonomi tingkat tinggi. (Tirai 2000, hal. 16)
Pendidikan kejuruan, menekankan pengembangan keterampilan kewirausahaan, tidak bisa menjadi kurikulum add-on di banyak bagian Asia. Mengingat kurangnya kesempatan kerja, urbanisasi meningkat, dampak negatif dari globalisasi dan ketidakmampuan pemerintah untuk menyediakan sumber daya yang memadai untuk pendidikan dan pelatihan, kemandirian merupakan atribut kunci bagi kaum muda. Sebagai Curtain (2000) telah menunjukkan, pengembangan kewirausahaan tidak dapat hanya strategi ketenagakerjaan yang akan digunakan oleh pemerintah. Namun dalam konteks urbanisasi tampaknya bahwa semakin banyak orang muda mandiri dapat menjadi, semakin baik dilengkapi mereka akan menangani ketidakpastian dan ketidakamanan. Strategi tersebut perlu didukung dengan kurikulum yang lebih berorientasi kejuruan, akses yang lebih besar untuk bekerja program pengalaman, penciptaan lapangan kerja dan relawan peluang yang ditargetkan bersama program pengembangan kewirausahaan dan perusahaan. Ini adalah kurikulum bertahan hidup dan parameternya ditentukan oleh yang mengancam jiwa konteks daripada perdebatan akademis atau politik. Ini tidak mewakili pilihan bagi banyak masyarakat-itu hanya kenyataan.
Kurikulm sekolah bagian non-indrusti Asia dibangun oleh konteks sosial, politik dan ekonomi cara yang sangat khusus. Perdebatan Kurikulum dan isu-isu yang khas terkait dengan kehidupan-peluang dan kelangsungan hidup daripada konsepsi akademik baik sekolah atau kurikulum sekolah. Mereka menunjukkan kompleksitas dan variasi dalam cara yang sangat berbeda. Akademisi mungkin ingin memperdebatkan bentuk kurikulum yang dijelaskan dalam paragraf di atas, tetapi untuk orang-orang muda di wilayah ini masalah ini bukan tentang perdebatan dan konsepsi alternatif kurikulum. Sebaliknya, itu adalah aboyt bagaimana bertahan hidup di lingkungan yang tidak kondusif tidak mendukung aspirasi mereka. Tidak ada solusi universal untuk masalah kurikulum, akuntabilitas dan neo-progresivisme mungkin telah muncul di muka negara-negara industri sebagai wacana kurikulum kunci, tetapi mereka tidak terlalu relevan di Asia non-industri. Solusi untuk masalah kurikulum adalah konteks terikat dan dalam kasus yang dijelaskan di sini terkait lainnya terhadap kebutuhan nyata dari orang-orang muda dari kebutuhan meta pemerintah untuk mengatasi bentuk-bentuk baru pembangunan ekonomi.

C.            Nilai- Nilai Pendidikan Dalam Dunia Global
Isu yang jelas yang muncul dari pembahasan di bagian yang dapat  terkait dengan nilai-nilai. Kurikulum sekolah tidak ada dalam isolasi dari nilai-nilai masyarakat dan dalam arti penting adalah refleksi dari nilai-nilai tersebut. Namun pertimbangan nilai-nilai menimbulkan pertanyaan tentang 'yang' nilai-nilai atau 'yang' nilai-nilai dan bagaimana nilai-nilai dapat diajarkan sebagai bagian dari kurikulum sekolah. Bagian ini bab ingin problematise masalah nilai dengan menunjukkan bagaimana masyarakat yang berbeda berusaha untuk terlibat dengan itu. Cara-cara di mana masyarakat yang berbeda membangun nilai-nilai dimensi kurikulum setan-strates betapa kompleks kurikulum dapat menjadi. Kompleksitas tersebut tentu saja, tidak terbatas pada sekolah tetapi tampaknya diperkuat setiap hari di dunia di mana saat ini nilai-nilai konflik adalah jantung dari politik nasional dan internasional.
Nilai-nilai dalam masyarakat apapun mencerminkan sejarah, budaya dan politik konteks yang beroperasi dengan cara yang unik untuk mempengaruhi nilai-nilai yang akan dominan pada waktu tertentu. Tabel di bawah ini menunjukkan rentang nilai yang didukung oleh nasional (dan sub-nasional) yang berbeda yurisdiksi. Di tiga wilayah Victoria. New South Wales dan Hong Kong  ada kesamaan, tetapi ada juga beberapa perbedaan penting antara Hong Kong dan dua lainnya. Tujuan eksplisit mulai dari kurikulum Nasional Pakistan memberikan demarkasi yang jelas antara sikap nilai dan orang-orang dari yuridist lainnya.berikut tabelnya:

Pakistan
Viktoria
New South Wales
Hong Kong
Transmit nilai-nilai tradisional senada dengan modernitas
Mengembangkan untuk penilaian kritis terhadap budaya asing dan ideologi
Memahami konsekuensi , imprealisme,kolonialisme dan pentingnya kemerdekaan
•Mempromosikan kesatuan umat Islam dalam kata
•Mengembangkan dan mempraktekkan semangat ideologi Pakistan dan Islam

•Toleransi dan pemahaman
• Menghormati
•Tanggung Jawab
• Keadilan sosial
• Excellence
• Perawatan
•Inklusi dan kepercayaan
• Kejujuran
• Kebebasan
• Menjadi etika

• Integritas
• Excellence
• Menghormati
•Tanggung Jawab
• Kerjasama
• Perawatan
• Keadilan
• Demokrasi

·   Ketekunan
• Hargai orang lain
• Tanggung Jawab
• Nasional
• Identitas
• Komitmen



Banyak sekolah memiliki nilai yang mereka ajarkan sebagai bagian dari perencanaan pendidikan mereka Banyak sekolah memasarkan diri kepada orang tua atas dasar nilai-nilai ini. Saya ingin melihat setiap sekolah Australia telah tertanam dalam nilai-nilai kurikulum dan pendekatan mereka (Nelson 2004) Namun itu adalah menarik untuk dicatat bahwa nilai-nilai yang didukung toleransi, kepercayaan, saling menghormati, keberanian, kasih sayang dan kejujuran, kesopanan dan melakukan salah satu terbaik (Nelson 2003) Ada garis yang jelas antara ruang publik dan nilai-nilai ruang pribadi di Australia dan sementara setiap lingkup dapat sangat politis, perbedaan antara mereka adalah diri salah satu nilai utama masyarakat Australia.
Nilai-nilai dan pendidikan nilai-nilai yang tertanam dalam jenis kompleksitas yang menjadi masalah bukan hanya untuk pemerintah, tetapi untuk semua orang. Isu-isu nilai-nilai pribadi, nilai-nilai masyarakat, peran negara sekuler dalam menegakkan nilai-nilai dan sifat absolut atau relatif dari nilai-nilai yang tidak mudah untuk menyelesaikan dan solusi kurikulum sederhana yang menunjukkan mereka harus ditolak.
Ketika Hong Kong di dibandingkan dengan Victoria dan New South Wales ada beberapa tumpang tindih: Hormat, Tanggung Jawab dan secara umum meskipun tidak secara khusus, komitmen. Namun 'identitas nasional' dan 'ketekunan' menonjol sebagai khas. Yang terakhir jelas adalah nilai budaya.
Kemajuan teknologi penting dan munculnya tekanan ekonomi berbasis pengetahuan dan tantangan yang lebih menakutkan dari sebelumnya untuk orang-orang muda kita. Ketekunan, yang dianggap sebagai kekuatan orang-orang Cina, adalah kualitas penting bahwa mereka harus merangkul untuk membantu mereka menghadapi tantangan hidup dan mengatasi kemalangan. (Kurikulum Dewan Pembangunan 2002)
Ketekunan nilai Konghucu adalah  yang terkenal di masyarakat Cina dalam kutipan di atas digunakan dalam konteks yang sangat modern untuk menunjukkan penerapan saat ini. Pengamatan sering dikaitkan dengan Konfusius: 'itu tidak menyenangkan untuk belajar dengan ketekunan konstan dan aplikasi?'
.
Adapun identitas Nasional sebagai nilai kunci di Hong Kong, penjelasan sejarah dan politik.
Kembalinya Hong Kong ke Cina sejak tahun 1997 panggilan untuk pemahaman yang lebih dalam tentang sejarah dan budaya tanah air. Ada kebutuhan untuk memperkuat rasa identitas nasional di kalangan anak muda kita. Sangat penting untuk meningkatkan kepentingan mereka dalam dan kepedulian untuk pengembangan Cina hari ini  dengan melibatkan mereka dalam pengalaman belajar yang berbeda dan belajar lebar hidup