Teori – Teori Psikologi dan Belajar
*Hendra Payobadar
A.
Pendahuluan
1.
Definisi
Teori
Menurut
Campbell (dalam Sudjana, 1990), teori diartikan sebagai perangkat proposisi
atau pernyataan ilmiah yang terintegrasi secara sintaksis dan berfungsi
menjelaskan, membedakan, meramalkan dan mengontrol fenomena yang diamati.
Berdasarkan definisi ini, suatu teori dinyatakan dalam kalimat yang dapat
menjelaskan, membedakan, meramalkan maupun mengontrol adanya fenomena.
Dalam
konteks pendidikan, Menurut Kneller (Siswoyo, 1998) pengertian teori pendidikan
memiliki dua makna. Makna pertama, teori dapat menunjukkan suatu hipotesis atau
serangkaian hipotesis yang telah diverifikasi dengan observasi atau eksperimen.
Makna kedua, teori memiliki sinonim umum untuk pemikiran sistematik atau serangkaian
pemikiran-pemikiran sistematik atau serangkaian pemikiran-pemikiran yang
koheren. Sistematik berarti
ada hubungan saling terkait dan kompleks. Pemikiran koheren artinya pemikiran
berdasarkan akal sehat mengandung kebenaran.
Teori
merupakan serangkaian eksplanasi atau penjelasan yang disusun berdasarkan
kesimpulan yang diperoleh dari kegiatan penelitian. Popper (dalam Hergenhahn
& Olson, 1997) menyatakan bahwa teori adalah usulan pemecahan masalah.
Definisi mirip dengan pengertian hipotesis atau jawaban atau dugaan sementara
atas suatu permasalahan atau problem penelitian. Dalam hal ini, teori
seringkali cenderung bercorak konseptual, sehingga gagasan pemecahan masalah
yang ditawarkan bersifat kerangka pikir. Teori dapat diterapkan (diaplikasikan) dalam kehidupan praktis melalui
langkah-langkah operasional yang praktis dan konkrit. Dengan demikian maka
secara teori dapat menjawab persoalan konseptual serta problem praktis melalui
proses pengaplikasian teori dalam tataran praktis.
Dalam
dunia ilmu pengetahuan, lahir banyak teori di mana penemuan terbaru
berkemungkinan berlawanan atau memiliki perbedaan dengan teori sebelumnya. Oleh
karena itu, dalam khasanah dunia ilmu pengetahuan dikenal prinsip parsimony.
Prinsip parsimony adalah prinsip efektifitas teori yang mana bila ada
dua atau lebih teori yang sama-sama menjelaskan sebuah fenomena, teori yang
satu rumit sedang lainnya lebih sederhana, maka kita harus mengambil yang lebih
sederhana itu.
Karakteristik
teori ilmiah menurut Hergenhahn dan Olson (1997) antara lain:
a.
Teori
mensintesakan atau memadukan sejumlah observasi
b.
Teori yang baik
adalah yang heuristic yaitu teori yang dapat memicu penelitian baru
c.
Teori harus
dapat menghasilkan hipotesis yang dapat diverifikasi (diuji) secara empiris.
Jika hipotesisnya diterima, maka ia merupakan teori yang kuat, sebaliknya jika
ditolak, maka teori tersebut lemah
d.
Teori merupakan sebuah alat, sehingga tidak bisa
dipandang benar atau salah, berguna atau tidak berguna
e.
Teori dipilih berdasarkan
prinsip parsimony
f.
Teori terdiri dari abstrak yaitu serangkaian kata yang
memaparkan aspek formal teori
g.
Aspek formal teori harus berhubungan dengan fenomena yang
observable yang menyokong aspek empiris dari sebuah teori. Misalnya
astrologi secara formal menyakinkan, tetapi dalam kenyataan empiris belum tentu
akurat dalam menjelaskan fenomena perilaku
Berdasarkan
definisi teori di atas, maka suatu pernyataan dapat disebut teori minimal
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a.
Teori dirumuskan
dalam bentuk kalimat atau pernyataan
b.
Pernyataan dalam
teori dapat digunakan untuk menjelaskan, membedakan, meramalkan, dan mengontrol
adanya fenomena
c.
Kebenaran
pernyataan tersebut telah diuji melalui eksperimen atau memiliki kebenaran yang
keheren.
Kebenaran suatu teori dapat diuji melalui empat kriteria
:
a.
mengumpulkan
data yang benar
b.
menggunakan
metodologi yang benar dan tepat
c.
membentuk teori
yang sahih
d.
dapat membuat ramalan yang tepat (Sudjana: 1990)
2.
Asal
mula Filosofis.
Akar dari ilmu dapat dilihat dari
tinjauan filsafat. Sebagian besar filsuf berasal dari yunani seperti
aristoteles, plato , dll. Dalam tulisan-tulisan mereka dapat ditemukan
gagasan-gagasan awal yang kemudian diteruskan kepada pemikir-pemikir generasi
selanjutnya. Pada akhirnya gagasan-gagasan itu menjadi sumber dari filsafat dan
ilmu yang dikembangkan oleh bangsa barat. Disamping itu, ketika kita mencari
akar filsafat maka kita dapat mengasumsikan sebagai skema akademik yang agak
abstrak dan seringkali prosedur semacam itu digunakan untuk melegitimasi
gagasan yang kurang dalam, namun demikian sangat sulit untuk menerima mengapa
teori ilmiah tertentu diformulasikan tanpa memahami asal mula filsafat. Karena
perhatian kita saat ini pada teori belajar dari sudut pandang psikologi perlu
kiranya untuk menyajikan pemikiran yang ada berkaitan dengan sifat psikologi
yang mendahului formulasi teori-teori tersebut.
Sejarah psikologi sebagai ilmu
pengetahuan eksperimental dimulai pada tahun 1879, pada saat Wilhelm Wundt
mendirikan laboratorium di Leipzing-Jerman yang dirancang untuk penelitian di
bidang psikologi. Tahun tersebut digunakan sebagai penanda, tetapi salah jika
menganggap bahwa semua trend dan issue yang terjadi dalam sejarah psikologi
akademis dapat dilacak dari sejarah pemikiran Wundt. Karena wundt sendiri
adalah produk dari persentuhan beberapa pemikiran sebelumnya dan juga ada issue
yang penting dalam psikologi tetapi tidak masuk dalam pemikiran Wundt. Untuk
memahami pendukung filosofis dari teori-teori yang kita reviu, maka kita perlu
kembali sebelum eranya Wundt dan para ahli psikologi awal seperti James dan
Titchner yang mengkonstruksi tahapan bagi orang-orang tersebut dalam hal asal
mula historis dari isu yang mereka anggap penting dan masih muncul dalam
pemikiran modern. Karena sejarah teori belajar modern biasanya dimulai dari
pemikiran Thorndike, kita akan menyiapkan penyajian teori ini dengan melihat
asal mula dua trend berbeda dalam pemikiran filosofis yang digunakan dalam
konsep Thorndike. Secara filosofis kedua aliran ini disebut sebagai Hedonism
dan associationism.
a.
Hedonism
Sangat jelas dalam observasi pada aktifitas manusia
dan binatang bahwa perilaku itu diarahkan pada tujuan untuk meningkatkan rasa
senang dan avoiding pain (menghindari rasa sakit). Akibat dari perilaku
hedonistik seperti itu, diterima dalam pemikiran filsafat barat. Tetapi tidak
dapat diasumsikan bahwa pengaruh hedonistik seperti itu merupakan satu-satunya
determinants/penentu perilaku manusia. Bagaimanapun juga manusia dipandang
rasional (tidak seperti binatang) dan dengan kekuatan pikiran dia, dia dapat
mengendalikan pengaruh-pengaruh hedonistik dengan menggantikannya dengan
pikiran pikiran intelektual.
Pemikiran-pemikiran seperti itu sama dengan pemikiran Plato dimana dia membandingkan perilaku manusia dengan perilaku binatang. menurut plato, hewan hanya mengejar aspek sensual dalam hidup dan didominasi oleh kesenangan mereka sendiri. Sedangkan manusia memiliki kemampuan berpikir dan kehendak bebas untuk mengendalikan keberadaan aspek sensual tersebut. Prilaku manusia dapat ditentukan oleh rasa senang tetapi tidak selalu. Sedangkan hewan selalu dikendalikan oleh aspek sensual dan kesenangannya. Pemikiran yang sama dapat ditemukan dalam tulisan Democritus, Epicirus dan filsuf yunani lain. Democritus dalam membahas pengaruh dorongan binatang dalam perilaku manusia menyatakan bahwa pengaruh itu harus dipisahkan dari pertimbangan moral; hasrat binatang (penyebab hedonistik) tidak selalu lebih rendah dalam pandangan rasional dan intelektual hanya saja kurang berguna untuk jangka panjang. Sedangkan menurut Epicurus yang penting dalam kehidupan adalah kebahagiaan dan rasa senang. Rasa senang yang dimaksudkan disini adalah kebahagiaan saat ini dibandingkan dengan kebahagiaan yang akan datang. Karena menurut Descartes manusia memiliki dualisme pemikiran dan keduanya (pikiran dan benda) berinteraksi dengan cara tertentu. Tetapi premis dasar bahwa perilaku organisme pada masa yang akan datang sebagian ditentukan oleh konsekuensi perilaku manusia. Premis dasar seperti itu, dapat dilihat dalam sejarah fisafat barat dalam tulisan-tulisan Bentham, Mill, Hobbes dan lain-lainnya. Untuk tujuan ini kita hanya mereviu pemikiran Herbert Spencer karena merepresentasikan sejarah teori belajar modern.
Pemikiran-pemikiran seperti itu sama dengan pemikiran Plato dimana dia membandingkan perilaku manusia dengan perilaku binatang. menurut plato, hewan hanya mengejar aspek sensual dalam hidup dan didominasi oleh kesenangan mereka sendiri. Sedangkan manusia memiliki kemampuan berpikir dan kehendak bebas untuk mengendalikan keberadaan aspek sensual tersebut. Prilaku manusia dapat ditentukan oleh rasa senang tetapi tidak selalu. Sedangkan hewan selalu dikendalikan oleh aspek sensual dan kesenangannya. Pemikiran yang sama dapat ditemukan dalam tulisan Democritus, Epicirus dan filsuf yunani lain. Democritus dalam membahas pengaruh dorongan binatang dalam perilaku manusia menyatakan bahwa pengaruh itu harus dipisahkan dari pertimbangan moral; hasrat binatang (penyebab hedonistik) tidak selalu lebih rendah dalam pandangan rasional dan intelektual hanya saja kurang berguna untuk jangka panjang. Sedangkan menurut Epicurus yang penting dalam kehidupan adalah kebahagiaan dan rasa senang. Rasa senang yang dimaksudkan disini adalah kebahagiaan saat ini dibandingkan dengan kebahagiaan yang akan datang. Karena menurut Descartes manusia memiliki dualisme pemikiran dan keduanya (pikiran dan benda) berinteraksi dengan cara tertentu. Tetapi premis dasar bahwa perilaku organisme pada masa yang akan datang sebagian ditentukan oleh konsekuensi perilaku manusia. Premis dasar seperti itu, dapat dilihat dalam sejarah fisafat barat dalam tulisan-tulisan Bentham, Mill, Hobbes dan lain-lainnya. Untuk tujuan ini kita hanya mereviu pemikiran Herbert Spencer karena merepresentasikan sejarah teori belajar modern.
Teori-Teori Spencer dapat dipandang sebagai
pengembangan dari teori evolusi Darwin dalam ranah hedonistik. Salah satu aspek
dari sejarah Darwin adalah pernyataan bahwa aspek dari penting dari perilaku
dan karakteristik dari makhluk hidup adalah adalah nilai bertahan hidupnya.
Faktor-faktor yang mendukung kemampuan makhluk hidup untuk beradaptasi dan
berubah, perilaku-perilaku manusia untuk bertahan, nantinya dalam jangka waktu
yang lama akan tetap ada dan berlangsung dari satu generasi kegenerasi selanjutnya.
Dalam pernyataan dasar ini, Spencer menambahkan dimensi kesenangan (pleasure)
dan rasa sakit (pain). Dengan logika ini, seleksi alam nampaknya dalam jangka
panjang cenderung mendukung hubungan antara faktor-faktor yang membantu makhluk
hidup untuk bertahan hidup dan faktor-faktor yang menciptakan rasa senang.
Sebagai contoh, makan itu menimbulkan rasa senang dan juga untuk bertahan
hidup. Tetapi ini tidak hanya benar namun juga jelas bahwa ada makanan yang
lebih lezat dari makanan yang lainnya (misalnya antara makanan manis dan
makanan pahit; orang cenderung memilih makanan yang manis). Analisis
jenis-jenis makanan yang tersedia bagi makhluk hidup untuk dimakan, menunjukkan
bahwa lebih sering makanan yang manis lebih baik bagi makhluk hidup dari makanan
yang pahit. Maka, apa yang terjadi melalui seleksi alam, adalah bahwa mhkluk
hidup akan mencari kesenangan dan akan menghindari rasa sakit dengan cara
memakan makanan manis dan tidak memakan yang pahit (ini adalah prinsip-prisnsip
hedonistik).
b.
Associationism
Ketika
seseorang diminta untuk memberikan respon terhadap kata “meja” maka jawaban
yang paling mungkin dia akan mengatakan “kursi”. Respon ini terjadi secara
otomatis seakan-akan dua kata itu saling berkaitan dalam mekanisme cerebral
(Cerebral : Bagian dari otak yang mengatur dan mongkordinasikan gerakan-gerakan
reflek). Perilaku semacam itu adalah sangat umum karena elemen-elemen tersebut
saling terkait sedemikian rupa sehingga kejadian yang satu akan menghasilkan
kejadian yang lain. Penjelasan tentang hal ini dalam ranah filsafat dapat
dilihat pada tulisan-tulisan dari tokoh-tokoh filasafat yunani. Aristoteles
misalnya, memori difahami sebagai association of mental element . Dengan cara
melihat padanan/persamaan/sinonim (similarity), pertentangan/antonim
(contrast), atau pertautan (contiguity) maka gagasan akan dihasilkan oleh
gagasan yang lain dan atau ide-ide yang dimunculkan oleh pengalaman inderawi
akan menstimulasi ide lain. Jadi alasan seseorang memberikan respon dengan kata
“kursi” pada kata “meja” adalah bahwa kedua kata itu dipautkan sebelumnya.
Alasan bahwa respon untuk kata “putih” adalah “hitam” karena keduanya diasosiasikan
sebagai opposites (lawan kata), and so on (dan lain-lain). Perkembangan awal
aliran pemikiran ini berasal dari para filsuf inggris yang biasa disebut
British associationist.
Yang menjadi pusat pemikiran British associationist
adalah pernyataan dasar bahwa pekerjaan pikiran itu mengikuti aturan hukum yang
memiliki sifat-sifat serupa hukum mekanis yang mendasari gejala fisik. Hukum
fisika seperti Newton Grafitational laws atau Boyls’s Law adalah deskripsi dari
apa yang terjadi pada kondisi tertentu.
Yang dianggap sebagai penggagas faham faham
associationism adalah Thomas Hobbes walaupun dalam perkembangan-perkembangan
besar dilakukan oleh orang lain, yang paling terkenal adalah John Locke, David
Hume, David Hartley, James Mill dan John Stuart Mill. Menurut Locke otak dan
pemikiran merupakan tabula rasa atau kotak hitam yang mana tempat menyimpan
seluruh memori pengalaman. Semua pengetahuan diberikan ke otak yang berisi
pengalaman, sensasi pemikiran . John Stuart Mill menamakan teorinya “chemistry
mental” yaitu proses yang dapat terjadi dalam beberapa kumpulan ide-ide. Dia
menjelaskan bahwa suatu ide sederhana diperoleh dari sensasi dan ingatan, dan
bahwa ide yang komplek dibentuk dari beberapa kombinasi ide yang simpel
(sederhana). Mill mengungkapkan bahwa ide yang komplek dapat terdiri dari
ide-ide simpel yang berkesinambungan, tetapi tidak semuanya terdiri dari
ide-ide simpel tersebut. William james, menerapkan bahwa associatinism berasal
dari similarity (persamaan), contiguity (keberlanjutan), dan contrast (kontra)
.
3.
Pentingnya
psychology sebagai ilmu pengetahuan
Psikologi sebagai ilmu dimulai pada
tahun 1879, sewaktu Wilhem Wundt mendirikan laboratorium psikologi di kota
Leipzig. Bagi Wundt esensi psychology adalah penelitian, suatu penelitian dapat
menjawab semua pertanyaan tentang pemikiran sebagai dasar seseorang filosofi.
Oleh sebab itu munculah istilah “science of experience” dan memiliki tiga
masalah utama , yaitu:
a.
Analisis proses
kesadaran terhadap hal yang paling mendasar, element-element yang mendukung
b.
Memahami
hubungan antara element-element tersebut,
c.
Memahami
hukum/aturan dari hubungan elemen-elemen tersebut.
Psychology terdiri dari beberapa element
yaitu: perasaan dan persepsi subjek tersebut terhadap rangsangan. Oleh sebab
itu sangat penting untuk diketahui bahwa berbicara tentang psychology tidak
jauh dari membicarakan persepsi, emosi, reaksi, dan beberapa hal umum lainnya
yang berkaitan dengan dunia fisik dan kesadaran.
Bertolak dari teori atom dalam ilmu kimia, Wundt beranggapan bahwa mempelajari psikologi menyangkut telaahan unsur-unsur dasar (mental atom) atau atom-atom dasar pengalaman mental manusia . Melalui metode instropeksi, Wundt mengadakan analisis dan menentukan unsur-unsur pengalaman manusia. Perhatian ditunjukkan kepada sensasi, persepsi dan pengalaman mental manusia terhadap rangsangan-rangsangan yang diterimanya. Hal ini dilakukan untuk menganalisis cara bekerjanya pikiran manusia.
Bertolak dari teori atom dalam ilmu kimia, Wundt beranggapan bahwa mempelajari psikologi menyangkut telaahan unsur-unsur dasar (mental atom) atau atom-atom dasar pengalaman mental manusia . Melalui metode instropeksi, Wundt mengadakan analisis dan menentukan unsur-unsur pengalaman manusia. Perhatian ditunjukkan kepada sensasi, persepsi dan pengalaman mental manusia terhadap rangsangan-rangsangan yang diterimanya. Hal ini dilakukan untuk menganalisis cara bekerjanya pikiran manusia.
Jadi pada awalnya Wundt tidak melakukan
studi tentang masalah belajar, tetapi pada hal-hal yang beraneka ragam tentang
hubungan dunia fisik dengan pengalaman manusia secara sadar. Dari sinilah awal
mula psikologi dipelajari sebagai ilmu, sebab mulai dilakukan usaha mengadakan
analisis pikiran manusia melalui percobaan-percobaan dengan menggunakan
metode-metode yang sistematis sekalipun masih dalam ruang lingkup yang
terbatas.
Gagasan Wundt dilanjutkan oleh salah
seorang muridnya yakni Edward Titchener. Disamping itu, apa yang telah
dilakukan oleh Wundt mendorong para ahli psikologi lainnya untuk mengadakan
penelitian-penelitian psikologi lebih lanjut.
4.
Kerangka
Dasar Teori Psikologi
Para
psikolog dalam membangun teori-teori psikolgi dalandaskan pada beberapa
pendekatan berikut, yaitu :
a.
Pendekatan yang
mengkaitkan (mensintesiskan) hasil temuan dengan studi yang sedang di kerjakan
(related studies).
b.
Pendekatan yang
mengkaitkan (mensintesiskan) hasil temuan dengan beberapa model yang fokus pada
beberapa proses atau sub-proses studi psikologi (miniature model).
c.
Pendekatan yang
mengkaitkan hasil temuan dengan beberapa teori yang komprehensif agar diperoleh
teori psikologis yang komprehensif pula (comprehensive theory)
d.
Mewujudkan
kesepakatan untuk membangun satu teori yang diterima bersama sebagai kerangka
dasar untuk mengembangkan teori psikologi yang komprehensif.
e.
Berdasarkan
pendekatan keempat di atas muncul aliran-aliran dan pandangan psikologi yang
berbeda sehingga terjadi persaingan satu sama lainnya, menuju kepada teori
psikologi komprehensif.
f.
Pendekatan yang
berorientasi kepada penelitian psikologi yang terintegrasikan dengan teori
perilaku atau ilmu sosial.
Keenam pendekatan tersebut terlihat
hampir dalam setiap tahap perkembangan sejarah psikologi yang dimulai pada
akhir abad 19. Ada empat periode, pengembangan teori psikologi dan belajar
yaitu pertama, akhir abad ke-19 yang ditandai dengan timbulnya psikologi
sebagai ilmu. Kedua, periode pertama abad ke-20 yang melahirkan beberapa aliran
psikologi yang saling bersaingan. Ketiga, Periode tahun 1930-1950 yang ditandai
dengan teori psikologi dan belajar komprehensif. Keempat, periode pertengahan
abad ke-20 yakni periode yang ditandai dengan banyaknya psikolog mengadopsi
pendekatan model miniatur dalam menyusun teorinya.
5.
Peranan
Teori dalam Kegiatan Belajar
Manusia
telah dikaruniai akal dan hati oleh Allah SWT. Dengan akal dan hatinya, manusia
memiliki kedudukan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan makhluk lain. Akal dan hati yang dimiliki manusia harus dapat digunakan
secara baik. Oleh sebab itu, setiap manusia dituntut untuk selalu
belajar agar akal dan hatinya dapat digunakan dengan baik dan tepat. Proses
belajar yang dilakukan manusia dapat berlangsung setiap saat. Proses belajar
yang dilakukan manusia tidak selalu berhasil, bahkan seringkali proses belajar
berujung pada kegagalan. Kegagalan
dalam proses belejar merupakan hal yang biasa dan wajar.
Dalam
kehidupan sehari-hari, seringkali kita melaksanakan proses belajar berlangsung
secara alamiah tanpa didasarkan pada teori yang tepat. Akibatnya proses belajar
yang kita lakukan tidak dapat berhasil secara efektif dan efisien. Untuk
mengurangi kegagalan dalam proses belajar, maka diperlukan landasan teoritik
yang mampu menuntun pelaksanaan belajar. Dengan teori belajar, seseorang dapat
memilih dan menentukan metode, alat, dan materi yang akan dipelajari secara
tepat.
Menurut
Suppes (dalam Bell, 1991), secara umum teori itu memiliki empat fungsi, yaitu:
a.
Teori berfungsi
sebagai kerangka kerja dalam melakukan penelitian
b.
Teori memberikan
suatu kerangka kerja bagi pengorganisasian butir-butir informasi
c.
Teori dapat
mengungkapkan komplekitas peristiwa-peristiwa yang kelihatannya sederhana
d.
Teori dapat mengorganisasikan kembali
pengalaman-pengalaman sebelumnya
Proses
belajar dapat berlangsung dimana saja dan kapan saja. Hal ini menunjukkan bahwa
proses belajar tidak hanya berlangsung di sekolah saja, akan tetapi proses
belajar dapat terjadi di luar sekolah. Dalam proses belajar di sekolah, teori
belajar memiliki peranan penting, diantaranya:
a.
Teori belajar dapat berperan untuk mengurangi kegagalan
hasil belajar. Dengan kata lain, teori belajar dapat menjadikan hasil belajar
lebih optimal.
b.
Teori belajar dapat berperan dalam pemilihan metode,
media, materi dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi hasil belajar para
siswa.
c.
Teori dapat berperan dalam mencegah munculnya
hambatan-hambatan yang mungkin terjadi dalam proses belajar. Karena dengan
teori belajar akan dapat diprediksi faktor-faktor yang akan menghambat dalam
proses belajar.
d.
Teori belajar dapat berperan sebagai penuntun dalam
pelaksanaan belajar. Dengan teori belajar, guru akan mudah melakukan
tahap-tahap pembelajaran sesuai dengan teori belajar yang
digunakannya.
6.
Aliran-Aliran
Psikologi antara 1900-1930.
Setelah psikologi muncul sebagai ilmu
pada akhir abad ke-19 timbul beberapa konsepsi dan aliran psikologi yang saling
bersaing satu sama lain untuk mendapatkan pengaruhnya terhadap studi psikologi
lebih lanjut. Ada lima aliran psikologi pada masa tahun 1900-1930 yakni
strukturalisme, fungsionalisme, behaviorisme, psikologi gestalt dan
psikoanalisa.
a.
Strukturalisme
Strukturalisme merupakan psikologi model Wundt yang dibawa oleh Edward Titchener ke Amerika. Ia mendirikan laboratorium psokologi yang pertama di Amerika yaitu di Cornel University. Dalam penelitian dan percobaannya Titchener menekankan perlunya analisis kesadaran menjadi unsur-unsur yang disebutnya struktur . Menurut pendapatnya bahwa psikologi merupakan ilmu murni bukan ilmu terapan. Titchener menganalisis dan mengidentifikasi kesadaran manusia. Asumsi yang digunakannya adalah bahwa kesadaran yang kompleks terdiri dari unsur-unsur atau elemen dasar dan kombinasi dari unsur dasar itu (mental atoms), secara bersama membentuk pengalaman kognitif seperti persepsi, imajinasi, emosi dan pikiran .
Strukturalisme merupakan psikologi model Wundt yang dibawa oleh Edward Titchener ke Amerika. Ia mendirikan laboratorium psokologi yang pertama di Amerika yaitu di Cornel University. Dalam penelitian dan percobaannya Titchener menekankan perlunya analisis kesadaran menjadi unsur-unsur yang disebutnya struktur . Menurut pendapatnya bahwa psikologi merupakan ilmu murni bukan ilmu terapan. Titchener menganalisis dan mengidentifikasi kesadaran manusia. Asumsi yang digunakannya adalah bahwa kesadaran yang kompleks terdiri dari unsur-unsur atau elemen dasar dan kombinasi dari unsur dasar itu (mental atoms), secara bersama membentuk pengalaman kognitif seperti persepsi, imajinasi, emosi dan pikiran .
b.
Functionalism
Penemu fungsionalisme adalah John Dewey, yang diikuti oleh James Angell, Harvey Carr, dan lain-lain. Mereka menaruh perhatian pada fungsi pengalaman dalam membantu individu mengadaptasi atau menyesuaikan dengan lingkungannya. Kawasan fungsionalisme meliputi kegiatan manusia dan hewan. Mereka menerima instropeksi sebagai metode studinya, tetapi mereka juga menekankan akan pengamatan objektif yang terkontrol. Mereka sangat terpengaruh oleh pendapat Darwin bahwa spesies bertahan dan menghasilkan keturunan karena keberhasilannya mengatasi kebutuhan lingkungan yang berubah. Sebagaimana tersirat pada namanya, kalangan fungsionalis sangat tertarik pada aktivitas-aktivitas manusia, bukan semata-mata dalam hubungannya dengan unsur-unsur pengalaman mental, tetapi juga terutama dalam fungsi-fungsi adaptasi dalam menghadapi lingkungannya. Ilmuwan fungsionalis memperluas domain psikologi untuk dapat memasukkan seluruh aktivitas manusia sekaligus binatang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, aliran fungsionalisme mempelajari fungsi dari tingkah laku atau proses mental, bukan hanya mempelajari strukturnya. Oleh karena itu, perhatiannya kepada aktifitas psikologis dan tujuan dari aktifitas tersebut. Dua aspek lain dari fungsionalisme adalah (1) hal-hal yang bersifat “coommon sense” tidak ditolak secara kategoris, tetapi dianggap sebagai informasi ilmiah yang timbul. (2) tidak ada perbedaan antara psikologi murni dan psikologi terapan.
Penemu fungsionalisme adalah John Dewey, yang diikuti oleh James Angell, Harvey Carr, dan lain-lain. Mereka menaruh perhatian pada fungsi pengalaman dalam membantu individu mengadaptasi atau menyesuaikan dengan lingkungannya. Kawasan fungsionalisme meliputi kegiatan manusia dan hewan. Mereka menerima instropeksi sebagai metode studinya, tetapi mereka juga menekankan akan pengamatan objektif yang terkontrol. Mereka sangat terpengaruh oleh pendapat Darwin bahwa spesies bertahan dan menghasilkan keturunan karena keberhasilannya mengatasi kebutuhan lingkungan yang berubah. Sebagaimana tersirat pada namanya, kalangan fungsionalis sangat tertarik pada aktivitas-aktivitas manusia, bukan semata-mata dalam hubungannya dengan unsur-unsur pengalaman mental, tetapi juga terutama dalam fungsi-fungsi adaptasi dalam menghadapi lingkungannya. Ilmuwan fungsionalis memperluas domain psikologi untuk dapat memasukkan seluruh aktivitas manusia sekaligus binatang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, aliran fungsionalisme mempelajari fungsi dari tingkah laku atau proses mental, bukan hanya mempelajari strukturnya. Oleh karena itu, perhatiannya kepada aktifitas psikologis dan tujuan dari aktifitas tersebut. Dua aspek lain dari fungsionalisme adalah (1) hal-hal yang bersifat “coommon sense” tidak ditolak secara kategoris, tetapi dianggap sebagai informasi ilmiah yang timbul. (2) tidak ada perbedaan antara psikologi murni dan psikologi terapan.
Oleh karena itu perlu digunakan metode
observasi tingkah laku. Ada dua macam metode observasi tingkah laku yakni
metode phisiologis yang menguraikan tingkah laku dari sudut anomi dan metode
variasi kondisi yang mempelajari tingkah laku dari sudut psikologis. Sedangkan
metode instropeksi digunakan sebagai pelengkap metode observasi.
Pemikiran Dewey sebagai penemu aliran
fungsionalisme di Amerika, sangat mengutamakan pragmatisme yakni memberi
tekanan kepada apa kegunaan dari pada jiwa atau tingkah laku tersebut. Pemkiran
ini membawa pengaruh yang kuat terhadap pendidikan. Dalam bidang pendidikan ia
mengajurkan metode belajar “learning by doing”. Dewey berpendapat untuk mempelajari
sesuatu tidak perlu mempelajari teori yang banyak, tapi harus langsung
melakukan apa yang hendak dipelajari tersebut. Untuk itu harus menguasai
gerakan/perbuatan yang tepat agar dapat dipelajari secara sempurna .
Minat terakhir dalam permasalahan terapan,
termasuk isu-isu pendidikan, mungkin berkembang sebagian karena fungsionalisme
muncul sebagai aliran ilmu pengetahuan ketika para ilmuwan psikologi di negara
ini diminta untuk membantu mencari solusi permasalahan sosial ini. Tetapi,
pengaruh personal Dewey tidaklah bisa diremehkan. Terutama sebagai filosof,
dengan beberapa training sebelumnya sebagai pakar psikologi, Dewey menjadi
salah satu pendidik terkemuka zaman ini.
c.
Behaviorisme
Aliran behaviorisme dimulai oleh John B. Watson. Menurut Watson perilaku yang seharusnya menjadi subjek pokok psikologi bukan kesadaran akal (mind) . Psikologi harus cukup luas untuk menampung perilaku dari semua organisme hidup. Metode instropeksi menurutnya terlalu subjektif bertitik tolak pada konsep refleks dari neorologi (ilmu syaraf). Watson berpendapat studi psikologi hendaknya mempelajari respon organisme terhadap stimuli. Muncullah formula “S – R” (stimulus – Respons). Watson berpendapat bahwa idenntifikasi unit S – R menyerupai refleks yang membentuk perilaku sederhana dan perilaku yang kompleks.
Walaupun beberapa perilaku dasar manusia diperoleh secara turun temurun, sebagian besar perilaku manusia dan hewan merupakan hasil belajar. Dengan demikian pusat perhatian pindah dari studi akal menjadi studi perilaku dengan tekanan khusus pada proses belajar, Watson berpendapat psikologi harus menjadi ilmu yang objektif. Psikologi harus mempelajari tingkah laku nyata (tingkah laku overt) disamping tingkah laku yang tidak tampak dari luar seperti berpikir dab beremosi. Tingkah laku yang tidak nyata disebutnya tingkah laku kovert.
Behaviorisme tidak menutup kemungkinan untuk mempelajari tingkah laku kovert sepanjang dapat diterangkan dalam perbuatan implisit. Berpikir menurut Watson adalah gerak bicara yang implisit atau bicara yang tidak tampak. Pengaruh Watson dalam bidang pendidikan cukup penting. Ia menekankan pentingnya pendidikan dalam perkembangan tingkah laku. Ia percaya dengan memberikan kondisioning tertentu dalam proses pendidikan, dapat membuat anak didik mempunyai sifat-sifat tertentu. Pengaruh lainnya terhadap psikoterapi, yakni penggunaan teknik kondisioning untuk menyembuhkan kelainan tingkah laku.
Aliran behaviorisme dimulai oleh John B. Watson. Menurut Watson perilaku yang seharusnya menjadi subjek pokok psikologi bukan kesadaran akal (mind) . Psikologi harus cukup luas untuk menampung perilaku dari semua organisme hidup. Metode instropeksi menurutnya terlalu subjektif bertitik tolak pada konsep refleks dari neorologi (ilmu syaraf). Watson berpendapat studi psikologi hendaknya mempelajari respon organisme terhadap stimuli. Muncullah formula “S – R” (stimulus – Respons). Watson berpendapat bahwa idenntifikasi unit S – R menyerupai refleks yang membentuk perilaku sederhana dan perilaku yang kompleks.
Walaupun beberapa perilaku dasar manusia diperoleh secara turun temurun, sebagian besar perilaku manusia dan hewan merupakan hasil belajar. Dengan demikian pusat perhatian pindah dari studi akal menjadi studi perilaku dengan tekanan khusus pada proses belajar, Watson berpendapat psikologi harus menjadi ilmu yang objektif. Psikologi harus mempelajari tingkah laku nyata (tingkah laku overt) disamping tingkah laku yang tidak tampak dari luar seperti berpikir dab beremosi. Tingkah laku yang tidak nyata disebutnya tingkah laku kovert.
Behaviorisme tidak menutup kemungkinan untuk mempelajari tingkah laku kovert sepanjang dapat diterangkan dalam perbuatan implisit. Berpikir menurut Watson adalah gerak bicara yang implisit atau bicara yang tidak tampak. Pengaruh Watson dalam bidang pendidikan cukup penting. Ia menekankan pentingnya pendidikan dalam perkembangan tingkah laku. Ia percaya dengan memberikan kondisioning tertentu dalam proses pendidikan, dapat membuat anak didik mempunyai sifat-sifat tertentu. Pengaruh lainnya terhadap psikoterapi, yakni penggunaan teknik kondisioning untuk menyembuhkan kelainan tingkah laku.
Terdapat
beberapa aspek dari faham funcsionalist dan behaviorsm yang berlawanan dengan
faham structuralist yang berkaitan dengan psikologi pembelajaran yaitu pertama,
Pembelajaran menjadi aspek yang lebih penting dan mendominasi dalam penelitian
psikologi pada ranah belajar. Kedua, Tujuan ataupun purpose yang lebih besar
adalah permintaan dalam proses experiment psikologi sebagai hasil langsung
merupakan penemuan baru dalam objek studi perilaku. Ketiga, Menggambarkan
tentang reflex neurologi yaitu rangsangan respon (S-R) yang menjadi dasar studi
prilaku simple dan complex dan sebagai suatu pembaharuan dalam psikologi teori.
d.
Gestalt
Psychology
Aliran
gestalt muncul dari psikologi Jerman-Max Werheimer, Wolfgang Kohler dan Kurt
Koffka. Psaikologi Gestalt dimulai dengan studi tentang persepsi. Gestalt
berarti susunan atau perkumpulan. Gestalt psykologi mengungkapkan bahwa
pembelajaran lebih ditekankan pada bagaimana caranya memecahkan suatu masalah.
Faham ini merupakan perkembangan dari faham structuralism dan behaviorist.
Pandangan psikologi gestalt (psikologi kognitif) bahwa tingkah laku individu
dikontrol oleh kemampuan organisme dan lingkungannya. Oleh karena itu poin
esensial dari psikologi Gestalt adalah bahwa keseluruhan lebih bermakna dari
bagian-bagian. Jadi tidak benar bila memberikan penekanan pada unsur-unsur
dasar fundamental. Gestalt mengutamakan pada bentuk, konfigurasi atau
bentuk-bentuk yang terlibat dalam pengalaman seseorang secara keseluruhan
mengenai suatu situasi. Gestalt setuju dengan para strukturalisme bahwa
psikologi adalah studi tentang pengalaman, tapi mereka menganjurkan menggunakan
pengamat yang telah dilatih sehingga dapat melaporkan persepsi apa adanya. Ada
beberapa perbedaan antara aliran Gestalt dengan aliran behaviorisme.
Menurut Gestalt, apa yang dilakukan manusia merupakan fungsi keturunan, sedangkan behaviorisme beranggapan bahwa apa yang dilakukan seseorang merupakan fungsi belajar. Pengikut behaviorisme mengatakan bahwa belajar dapat dipelajari dalam unit-unit S – R, sedangkan pengikut Gestalt mengatakan bahwa kegiatan kognitif sangat komplek dan perlu dipelajari secara keseluruhan, sehingga studi tentang belajar harus terdiri dari problem solving.
Aliran Behaviorisme dan Gestalt sering disebut aliran kontemporer yang mengkritik aliran ortodoks dari Wundt. Perbedaannya, kalau aliran behaviorisme tidak sependapat dengan kesadaran, tetapi lebih menekankan pada tingkah laku nyata. Sedangkan aliran Gestalt masih mengakui kesadaran namun tidak terpisah pisah dalam bentuk elemen-elemen, melainkan dalam bentuk yang utuh (totalitas). Ciri utama dari aliran Gestalt adalah mempelajari gejala sebagai suatu keseluruhan atau totalitas .
Menurut Gestalt, apa yang dilakukan manusia merupakan fungsi keturunan, sedangkan behaviorisme beranggapan bahwa apa yang dilakukan seseorang merupakan fungsi belajar. Pengikut behaviorisme mengatakan bahwa belajar dapat dipelajari dalam unit-unit S – R, sedangkan pengikut Gestalt mengatakan bahwa kegiatan kognitif sangat komplek dan perlu dipelajari secara keseluruhan, sehingga studi tentang belajar harus terdiri dari problem solving.
Aliran Behaviorisme dan Gestalt sering disebut aliran kontemporer yang mengkritik aliran ortodoks dari Wundt. Perbedaannya, kalau aliran behaviorisme tidak sependapat dengan kesadaran, tetapi lebih menekankan pada tingkah laku nyata. Sedangkan aliran Gestalt masih mengakui kesadaran namun tidak terpisah pisah dalam bentuk elemen-elemen, melainkan dalam bentuk yang utuh (totalitas). Ciri utama dari aliran Gestalt adalah mempelajari gejala sebagai suatu keseluruhan atau totalitas .
e.
Psikoanalisa
Psikoanalisa dikembangkan oleh Sigmund Freud . Freud mengungkapkan bahwa psikoanalisa merupakan induk dari pada semua teori dan method dalam penelitian.
Sebagian besar aliran yang berkembang pada era ini, termasuk semua aliran yang disebutkan di atas, dikembangkan sesuai dengan penelitian laboratorium dengan komitmen utama atau bahkan total pada berbagai temuan ‘ilmu murni’. Sigmund Freud menemukan posisinya sesuai dengan praktek medis. Walau psikoanalisis itu memiliki kontak tak-langsung dari pada langsung dengan psikologi pembelajaran dan praktek pendidikan, aliran ini memiliki dampak memadai terhadap psikologi sebagai ilmu dan profesi sehingga review kita tentang sistem-sistem pembelajaran zaman ini tidak akan sempurna tanpa setidaknya mengakui keberadaannya, serta banyak kontribusi yang diberikannya.
Psikoanalisa dikembangkan oleh Sigmund Freud . Freud mengungkapkan bahwa psikoanalisa merupakan induk dari pada semua teori dan method dalam penelitian.
Sebagian besar aliran yang berkembang pada era ini, termasuk semua aliran yang disebutkan di atas, dikembangkan sesuai dengan penelitian laboratorium dengan komitmen utama atau bahkan total pada berbagai temuan ‘ilmu murni’. Sigmund Freud menemukan posisinya sesuai dengan praktek medis. Walau psikoanalisis itu memiliki kontak tak-langsung dari pada langsung dengan psikologi pembelajaran dan praktek pendidikan, aliran ini memiliki dampak memadai terhadap psikologi sebagai ilmu dan profesi sehingga review kita tentang sistem-sistem pembelajaran zaman ini tidak akan sempurna tanpa setidaknya mengakui keberadaannya, serta banyak kontribusi yang diberikannya.
Ia mengembangkan sejumlah prosedur untuk
memperlakukan para pasien, selain mengembangkan teori karena ia tertarik untuk
dapat memahami masalah yang mendasari dan penjelasan tentang mengapa teori ini
bekerja. Meskipun konsepsi psikoanalisis Freud tak secara langsung berhubungan
dengan proses-proses pembelajaran atau dengan pendidikan semata, ada sejumlah
cara langsung dan tidak langsung di mana psikoanalisis dapat mempengaruhi teori
pembelajaran dan teori pengajaran yang sedang berkembang. Misalnya, ia sudah
mengalihkan perhatian pada fakta bahwa banyak karakteristik kepribadian orang
dewasa kita punya asal-mula pada pengalaman masa kanak-kanak. Ia mengamati
bahwa semua jenis perubahan, termasuk pembelajaran dan pendidikan informal,
bisa menimbulkan kecemasan dan umumnya dapat membentuk pengalaman yang lebih
sulit dibanding pengalaman yang jelas terlihat dalam pengamatan per kasus.
Freud mempopulerkan konsep “bawah-sadar” sebagai determinan utama perilaku manusia. Ia juga mengembangkan tesis bahwa semua jenis perubahan—termasuk pembelajaran—cenderung mengendapkan sejumlah kecemasan pada diri seseorang.
Freud mempopulerkan konsep “bawah-sadar” sebagai determinan utama perilaku manusia. Ia juga mengembangkan tesis bahwa semua jenis perubahan—termasuk pembelajaran—cenderung mengendapkan sejumlah kecemasan pada diri seseorang.
Pada periode
1900-1930 terdapat tiga pandangan mengenai belajar, yaitu koneksionisme dari
Edward Thorndike, Kondisioning klasik, dan teori gestalt (Bell, 1991).
Mulai tahun 1911 – 1924, Edward
Thorndike telah melakukan serangkaian penelitian yang terkait dengan teori
belajar. Pada tahun 1911 – 1913, Edward Thorndike mulai melakukan penelitian
dengan hewan. Dari penelitiannya melahirkan tiga hukum belajar yang meliputi;
hukum efek, hukum latihan, dan hukum kesiapan.
Kemudian Thorndike mulai melakukan
penelitian di dalam proses pembelajaran. Dalam penelitiannya, Thorndike
menemukan dua hal penting. Pertama, bahwa berlatih dalam tugas tertentu
memudahkan belajar diwaktu kemudian hanya untuk tugas yang serupa, tidak untuk
tugas yang tidak serupa. Kedua, Throndike menolak faham disiplin mental yang
menyatakan bahwa mempelajari kurikulum tertentu terutama matematika dan
bahasa-bahasa klasik akan meningkatkan fungsi intelek. Berdasarkan penelitian
Thorndike, mempelajari kurikulum tertentu tidak mempengaruhi fungsi
intelektual.
Hasil penelitian Thordike kemudian dikembangkan
melalui teori kondisioning klasik yang motori oleh Pavlov dan Watson. Pavlov
menemukan bahwa bahwa hubungan stimulus respon reflek itu tidak terkondisikan.
Pada awalnya, refleks muncul tidak terkondisi menjadi terkondisi setelah muncul
stimulus baru.
Watson memberikan sumbangan bahwa
kepribadian berkembang melalui kondisioning berbagai refleks. Ia berpendapat
bahwa manusia pada saat lahir hanya memiliki tiga respon emosi, yaitu takut
marah, dan sayang.
Kemudian lahir teori gestalt yang
menentang teori yang dikemukakan tokoh koneksionisme dan kondisioning klasik.
Menurut teori gestalt, seseorang dalam menanggapi sesuatu hal bersifat
komprehensif atau menyeluruh. Dalam menggapai sesuatu hal bukanlah disebabkan
oleh faktor yang tunggal, tetapi mengkap sesuatu hal secara menyeluruh.
7.
Era
Teori Belajar Comprehensive antara 1930-1950.
Periode 1930-1950, teori belajar
behavioristik maupun teori gestalt mengalami perkembangan. Pengembangan teori
behvioristik dilakukan oleh Clark Hull, Edwin Guthrie, dan B.F. Skiner. Teori
yang dikembangkan oleh tiga tokoh tersebut sering disebut teori S-R (Stimulus –
Respon). Teori yang dikembangkan oleh ketiga tokoh tersebut sering disebut
sebagai neobehavioris (Bell, 1991).
Hull berpendapat bahwa tingkah laku itu
berfungsi untuk menjaga agar organisme itu tetap bertahan hidup. Konsep
pokoknya, bahwa kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan merupakan hal penting
untuk kelangsungan hidup. Hull berpendapat bahwa, kebutuhan dikonsepkan sebagai
dorongan (drive). Stimulus yang sering disebut stimulus dorongan (SD)
sebagai dorongan primer, karena yang mendorong munculnya tingkah laku.
Penguatan tingkah laku merupakan kondisi biologis merupakan pemuasan kebutuhan
biologis.-, kemudian disebut reduksi dorongan Pemuasan kebutuhan biologis
disebut reduksi dorongan (drive reduction).
Edwin Guthrie memunculkan hukum kontiguiti,
yang menyatakan bahwa gabungan stimulus-stimulus yang muncul disertai gerakan,
maka apabila stimulus itu muncul kembali akan disertai gerakan yang sama. Edwin
Guthrie berpendapat bahwa penguatan bukanlah faktor yang penting. Penguatan
hanyalah berfungsi sebagai penjaga hasil belajar agar tidak hilang. Sumbangan
Guthrie lainnya adalah teori menghilangkan kebiasaan. Untuk menghilangkan
kebiasaan buruk, maka orang perlu menghapus stimulus yang menimbulkan tingkah
laku dan respons. Kemudian Guthrie melalui teori penggunaan hukuman berpendapat
bahwa hukuman yang diberikan secara tepat dapat menyebabkan seseorang berbuat lain.
B.F Skiner telah menyumbangkan teori
kondisioning operan. Dalam konteks belajar, Skiner berpendapat bahwa belajar
ialah tingkah laku. Belajar didefiniskan sebagai perubahan munculnya respon.
Dalam melakukan penelitian tingkah laku belajar, teori kondisioning operan
memiliki enam asumsi (Bell, 1991). Keenam asumsi tersebut adalah:
a.
Belajar itu
adalah tingkah laku
b.
Perubahan
tingkah laku secara fungsional terkait dengan perubahan yang terjadi dalam
lingkungannya
c.
Hubungan antara tingkah laku dengan lingkungan hanya
dapat diteliti melalui eksperimen yang dikontrol seksama
d.
Hasil eksperimen merupakan satu-satunya sumber informasi
yang dapat diterima untuk menentukan penyebab terjadinya tingkah laku.
e.
Tingkah laku
organisme secara individual merupakan data yang cocok
f.
Dinamika
interaksi organisme dengan lingkungannya itu memiliki kesamaan untuk semua
jenis makhluk hidup
Pengembangan teori
gestalt pada periode 1930 -1950 dilakukan oleh Tolman dan Kurt Lewin. Tolman
berpendapat bahwa belajar bukan hal berkaitan dengan S-R. Dalam proses belajar,
subjek menangkap peristiwa kritis untuk mencapai tujuan yang disebut tanda
gestalt ekspektasi. Menurut Tolman, terjadinya proses
belajar disebabkan subjek belajar memiliki pengharapan-pengharapan tertentu
dalam situasi belajar. Jadi belajar bukanlah berkaitan adanya S-R, tetapi
belajar lebih disebabkan adanya pengharapan.
Pengembang teori gestlat lainnya adalah
Kurt Lewin melalui teori medan. Kurt Lewin berpendapat bahwa terjadinya
perubahan itu disebabkan adanya dorongan psikologi dalam diri individu. Hal ini
menunjukkan bahwa Lewin menitik beratkan pentingnya motivasi.
8.
Periode
1950 – sekarang
Periode 1950 – 1975 merupakan periode
penting dalam perkembangan teori belajar. Ada empat teori yang mendominasi periode
ini. Keempat teori tersebut adalah; a.teori operan kondisioning dari B.F
Skiner; b. teori perkembangan kognitif dari Jean Piaget; 3. teori belajar dari
Robert Gagne; dan 4. teori ancangan kognitif terhadap pengembangan kurikulum
dari Jerome Bruner (Bell, 1991).
Kemudian teori belajar pada periode 1975
– sekarang didominasi oleh teori yang dikembangkan oleh psikologi kognitif.
McKeachi dan Bandura merupakan tokoh penting dalam pengembangan psikologi
kognitif pada periode ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar