Blog&fb: Hendra payobadar | Twitter : @payobadar

Besikap terlalu serius bisa mematikan mood orang disekitarmu

Hot in Week

Senin, 17 November 2014

Teori – Teori Psikologi dan Belajar

Teori – Teori Psikologi dan Belajar

*Hendra Payobadar

A.    Pendahuluan

1.      Definisi Teori
Menurut Campbell (dalam Sudjana, 1990), teori diartikan sebagai perangkat proposisi atau pernyataan ilmiah yang terintegrasi secara sintaksis dan berfungsi menjelaskan, membedakan, meramalkan dan mengontrol fenomena yang diamati. Berdasarkan definisi ini, suatu teori dinyatakan dalam kalimat yang dapat menjelaskan, membedakan, meramalkan maupun mengontrol adanya fenomena.
Dalam konteks pendidikan, Menurut Kneller (Siswoyo, 1998) pengertian teori pendidikan memiliki dua makna. Makna pertama, teori dapat menunjukkan suatu hipotesis atau serangkaian hipotesis yang telah diverifikasi dengan observasi atau eksperimen. Makna kedua, teori memiliki sinonim umum untuk pemikiran sistematik atau serangkaian pemikiran-pemikiran sistematik atau serangkaian pemikiran-pemikiran yang koheren. Sistematik berarti ada hubungan saling terkait dan kompleks. Pemikiran koheren artinya pemikiran berdasarkan akal sehat mengandung kebenaran.
Teori merupakan serangkaian eksplanasi atau penjelasan yang disusun berdasarkan kesimpulan yang diperoleh dari kegiatan penelitian. Popper (dalam Hergenhahn & Olson, 1997) menyatakan bahwa teori adalah usulan pemecahan masalah. Definisi mirip dengan pengertian hipotesis atau jawaban atau dugaan sementara atas suatu permasalahan atau problem penelitian. Dalam hal ini, teori seringkali cenderung bercorak konseptual, sehingga gagasan pemecahan masalah yang ditawarkan bersifat kerangka pikir. Teori dapat diterapkan (diaplikasikan) dalam kehidupan praktis melalui langkah-langkah operasional yang praktis dan konkrit. Dengan demikian maka secara teori dapat menjawab persoalan konseptual serta problem praktis melalui proses pengaplikasian teori dalam tataran praktis.
Dalam dunia ilmu pengetahuan, lahir banyak teori di mana penemuan terbaru berkemungkinan berlawanan atau memiliki perbedaan dengan teori sebelumnya. Oleh karena itu, dalam khasanah dunia ilmu pengetahuan dikenal prinsip parsimony. Prinsip parsimony adalah prinsip efektifitas teori yang mana bila ada dua atau lebih teori yang sama-sama menjelaskan sebuah fenomena, teori yang satu rumit sedang lainnya lebih sederhana, maka kita harus mengambil yang lebih sederhana itu.
Karakteristik teori ilmiah menurut Hergenhahn dan Olson (1997) antara lain:
a.       Teori mensintesakan atau memadukan sejumlah observasi
b.      Teori yang baik adalah yang heuristic yaitu teori yang dapat memicu penelitian baru
c.       Teori harus dapat menghasilkan hipotesis yang dapat diverifikasi (diuji) secara empiris. Jika hipotesisnya diterima, maka ia merupakan teori yang kuat, sebaliknya jika ditolak, maka teori tersebut lemah
d.      Teori merupakan sebuah alat, sehingga tidak bisa dipandang benar atau salah, berguna atau tidak berguna
e.       Teori dipilih berdasarkan prinsip parsimony
f.       Teori terdiri dari abstrak yaitu serangkaian kata yang memaparkan aspek formal teori
g.      Aspek formal teori harus berhubungan dengan fenomena yang observable yang menyokong aspek empiris dari sebuah teori. Misalnya astrologi secara formal menyakinkan, tetapi dalam kenyataan empiris belum tentu akurat dalam menjelaskan fenomena perilaku

Berdasarkan definisi teori di atas, maka suatu pernyataan dapat disebut teori minimal memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a.       Teori dirumuskan dalam bentuk kalimat atau pernyataan
b.      Pernyataan dalam teori dapat digunakan untuk menjelaskan, membedakan, meramalkan, dan mengontrol adanya fenomena
c.       Kebenaran pernyataan tersebut telah diuji melalui eksperimen atau memiliki kebenaran yang keheren.
Kebenaran suatu teori dapat diuji melalui empat kriteria :
a.       mengumpulkan data yang benar
b.      menggunakan metodologi yang benar dan tepat
c.       membentuk teori yang sahih
d.      dapat membuat ramalan yang tepat (Sudjana: 1990)

2.      Asal mula Filosofis.
Akar dari ilmu dapat dilihat dari tinjauan filsafat. Sebagian besar filsuf berasal dari yunani seperti aristoteles, plato , dll. Dalam tulisan-tulisan mereka dapat ditemukan gagasan-gagasan awal yang kemudian diteruskan kepada pemikir-pemikir generasi selanjutnya. Pada akhirnya gagasan-gagasan itu menjadi sumber dari filsafat dan ilmu yang dikembangkan oleh bangsa barat. Disamping itu, ketika kita mencari akar filsafat maka kita dapat mengasumsikan sebagai skema akademik yang agak abstrak dan seringkali prosedur semacam itu digunakan untuk melegitimasi gagasan yang kurang dalam, namun demikian sangat sulit untuk menerima mengapa teori ilmiah tertentu diformulasikan tanpa memahami asal mula filsafat. Karena perhatian kita saat ini pada teori belajar dari sudut pandang psikologi perlu kiranya untuk menyajikan pemikiran yang ada berkaitan dengan sifat psikologi yang mendahului formulasi teori-teori tersebut.
Sejarah psikologi sebagai ilmu pengetahuan eksperimental dimulai pada tahun 1879, pada saat Wilhelm Wundt mendirikan laboratorium di Leipzing-Jerman yang dirancang untuk penelitian di bidang psikologi. Tahun tersebut digunakan sebagai penanda, tetapi salah jika menganggap bahwa semua trend dan issue yang terjadi dalam sejarah psikologi akademis dapat dilacak dari sejarah pemikiran Wundt. Karena wundt sendiri adalah produk dari persentuhan beberapa pemikiran sebelumnya dan juga ada issue yang penting dalam psikologi tetapi tidak masuk dalam pemikiran Wundt. Untuk memahami pendukung filosofis dari teori-teori yang kita reviu, maka kita perlu kembali sebelum eranya Wundt dan para ahli psikologi awal seperti James dan Titchner yang mengkonstruksi tahapan bagi orang-orang tersebut dalam hal asal mula historis dari isu yang mereka anggap penting dan masih muncul dalam pemikiran modern. Karena sejarah teori belajar modern biasanya dimulai dari pemikiran Thorndike, kita akan menyiapkan penyajian teori ini dengan melihat asal mula dua trend berbeda dalam pemikiran filosofis yang digunakan dalam konsep Thorndike. Secara filosofis kedua aliran ini disebut sebagai Hedonism dan associationism.

a.      Hedonism
Sangat jelas dalam observasi pada aktifitas manusia dan binatang bahwa perilaku itu diarahkan pada tujuan untuk meningkatkan rasa senang dan avoiding pain (menghindari rasa sakit). Akibat dari perilaku hedonistik seperti itu, diterima dalam pemikiran filsafat barat. Tetapi tidak dapat diasumsikan bahwa pengaruh hedonistik seperti itu merupakan satu-satunya determinants/penentu perilaku manusia. Bagaimanapun juga manusia dipandang rasional (tidak seperti binatang) dan dengan kekuatan pikiran dia, dia dapat mengendalikan pengaruh-pengaruh hedonistik dengan menggantikannya dengan pikiran pikiran intelektual.
Pemikiran-pemikiran seperti itu sama dengan pemikiran Plato dimana dia membandingkan perilaku manusia dengan perilaku binatang. menurut plato, hewan hanya mengejar aspek sensual dalam hidup dan didominasi oleh kesenangan mereka sendiri. Sedangkan manusia memiliki kemampuan berpikir dan kehendak bebas untuk mengendalikan keberadaan aspek sensual tersebut. Prilaku manusia dapat ditentukan oleh rasa senang tetapi tidak selalu. Sedangkan hewan selalu dikendalikan oleh aspek sensual dan kesenangannya. Pemikiran yang sama dapat ditemukan dalam tulisan Democritus, Epicirus dan filsuf yunani lain. Democritus dalam membahas pengaruh dorongan binatang dalam perilaku manusia menyatakan bahwa pengaruh itu harus dipisahkan dari pertimbangan moral; hasrat binatang (penyebab hedonistik) tidak selalu lebih rendah dalam pandangan rasional dan intelektual hanya saja kurang berguna untuk jangka panjang. Sedangkan menurut Epicurus yang penting dalam kehidupan adalah kebahagiaan dan rasa senang. Rasa senang yang dimaksudkan disini adalah kebahagiaan saat ini dibandingkan dengan kebahagiaan yang akan datang. Karena menurut Descartes manusia memiliki dualisme pemikiran dan keduanya (pikiran dan benda) berinteraksi dengan cara tertentu. Tetapi premis dasar bahwa perilaku organisme pada masa yang akan datang sebagian ditentukan oleh konsekuensi perilaku manusia. Premis dasar seperti itu, dapat dilihat dalam sejarah fisafat barat dalam tulisan-tulisan Bentham, Mill, Hobbes dan lain-lainnya. Untuk tujuan ini kita hanya mereviu pemikiran Herbert Spencer karena merepresentasikan sejarah teori belajar modern.
Teori-Teori Spencer dapat dipandang sebagai pengembangan dari teori evolusi Darwin dalam ranah hedonistik. Salah satu aspek dari sejarah Darwin adalah pernyataan bahwa aspek dari penting dari perilaku dan karakteristik dari makhluk hidup adalah adalah nilai bertahan hidupnya. Faktor-faktor yang mendukung kemampuan makhluk hidup untuk beradaptasi dan berubah, perilaku-perilaku manusia untuk bertahan, nantinya dalam jangka waktu yang lama akan tetap ada dan berlangsung dari satu generasi kegenerasi selanjutnya. Dalam pernyataan dasar ini, Spencer menambahkan dimensi kesenangan (pleasure) dan rasa sakit (pain). Dengan logika ini, seleksi alam nampaknya dalam jangka panjang cenderung mendukung hubungan antara faktor-faktor yang membantu makhluk hidup untuk bertahan hidup dan faktor-faktor yang menciptakan rasa senang. Sebagai contoh, makan itu menimbulkan rasa senang dan juga untuk bertahan hidup. Tetapi ini tidak hanya benar namun juga jelas bahwa ada makanan yang lebih lezat dari makanan yang lainnya (misalnya antara makanan manis dan makanan pahit; orang cenderung memilih makanan yang manis). Analisis jenis-jenis makanan yang tersedia bagi makhluk hidup untuk dimakan, menunjukkan bahwa lebih sering makanan yang manis lebih baik bagi makhluk hidup dari makanan yang pahit. Maka, apa yang terjadi melalui seleksi alam, adalah bahwa mhkluk hidup akan mencari kesenangan dan akan menghindari rasa sakit dengan cara memakan makanan manis dan tidak memakan yang pahit (ini adalah prinsip-prisnsip hedonistik).
b.      Associationism
Ketika seseorang diminta untuk memberikan respon terhadap kata “meja” maka jawaban yang paling mungkin dia akan mengatakan “kursi”. Respon ini terjadi secara otomatis seakan-akan dua kata itu saling berkaitan dalam mekanisme cerebral (Cerebral : Bagian dari otak yang mengatur dan mongkordinasikan gerakan-gerakan reflek). Perilaku semacam itu adalah sangat umum karena elemen-elemen tersebut saling terkait sedemikian rupa sehingga kejadian yang satu akan menghasilkan kejadian yang lain. Penjelasan tentang hal ini dalam ranah filsafat dapat dilihat pada tulisan-tulisan dari tokoh-tokoh filasafat yunani. Aristoteles misalnya, memori difahami sebagai association of mental element . Dengan cara melihat padanan/persamaan/sinonim (similarity), pertentangan/antonim (contrast), atau pertautan (contiguity) maka gagasan akan dihasilkan oleh gagasan yang lain dan atau ide-ide yang dimunculkan oleh pengalaman inderawi akan menstimulasi ide lain. Jadi alasan seseorang memberikan respon dengan kata “kursi” pada kata “meja” adalah bahwa kedua kata itu dipautkan sebelumnya. Alasan bahwa respon untuk kata “putih” adalah “hitam” karena keduanya diasosiasikan sebagai opposites (lawan kata), and so on (dan lain-lain). Perkembangan awal aliran pemikiran ini berasal dari para filsuf inggris yang biasa disebut British associationist.
Yang menjadi pusat pemikiran British associationist adalah pernyataan dasar bahwa pekerjaan pikiran itu mengikuti aturan hukum yang memiliki sifat-sifat serupa hukum mekanis yang mendasari gejala fisik. Hukum fisika seperti Newton Grafitational laws atau Boyls’s Law adalah deskripsi dari apa yang terjadi pada kondisi tertentu.
Yang dianggap sebagai penggagas faham faham associationism adalah Thomas Hobbes walaupun dalam perkembangan-perkembangan besar dilakukan oleh orang lain, yang paling terkenal adalah John Locke, David Hume, David Hartley, James Mill dan John Stuart Mill. Menurut Locke otak dan pemikiran merupakan tabula rasa atau kotak hitam yang mana tempat menyimpan seluruh memori pengalaman. Semua pengetahuan diberikan ke otak yang berisi pengalaman, sensasi pemikiran . John Stuart Mill menamakan teorinya “chemistry mental” yaitu proses yang dapat terjadi dalam beberapa kumpulan ide-ide. Dia menjelaskan bahwa suatu ide sederhana diperoleh dari sensasi dan ingatan, dan bahwa ide yang komplek dibentuk dari beberapa kombinasi ide yang simpel (sederhana). Mill mengungkapkan bahwa ide yang komplek dapat terdiri dari ide-ide simpel yang berkesinambungan, tetapi tidak semuanya terdiri dari ide-ide simpel tersebut. William james, menerapkan bahwa associatinism berasal dari similarity (persamaan), contiguity (keberlanjutan), dan contrast (kontra) .
3.      Pentingnya psychology sebagai ilmu pengetahuan
Psikologi sebagai ilmu dimulai pada tahun 1879, sewaktu Wilhem Wundt mendirikan laboratorium psikologi di kota Leipzig. Bagi Wundt esensi psychology adalah penelitian, suatu penelitian dapat menjawab semua pertanyaan tentang pemikiran sebagai dasar seseorang filosofi. Oleh sebab itu munculah istilah “science of experience” dan memiliki tiga masalah utama , yaitu:
a.       Analisis proses kesadaran terhadap hal yang paling mendasar, element-element yang mendukung
b.      Memahami hubungan antara element-element tersebut,
c.       Memahami hukum/aturan dari hubungan elemen-elemen tersebut.
Psychology terdiri dari beberapa element yaitu: perasaan dan persepsi subjek tersebut terhadap rangsangan. Oleh sebab itu sangat penting untuk diketahui bahwa berbicara tentang psychology tidak jauh dari membicarakan persepsi, emosi, reaksi, dan beberapa hal umum lainnya yang berkaitan dengan dunia fisik dan kesadaran.
Bertolak dari teori atom dalam ilmu kimia, Wundt beranggapan bahwa mempelajari psikologi menyangkut telaahan unsur-unsur dasar (mental atom) atau atom-atom dasar pengalaman mental manusia . Melalui metode instropeksi, Wundt mengadakan analisis dan menentukan unsur-unsur pengalaman manusia. Perhatian ditunjukkan kepada sensasi, persepsi dan pengalaman mental manusia terhadap rangsangan-rangsangan yang diterimanya. Hal ini dilakukan untuk menganalisis cara bekerjanya pikiran manusia.
Jadi pada awalnya Wundt tidak melakukan studi tentang masalah belajar, tetapi pada hal-hal yang beraneka ragam tentang hubungan dunia fisik dengan pengalaman manusia secara sadar. Dari sinilah awal mula psikologi dipelajari sebagai ilmu, sebab mulai dilakukan usaha mengadakan analisis pikiran manusia melalui percobaan-percobaan dengan menggunakan metode-metode yang sistematis sekalipun masih dalam ruang lingkup yang terbatas.
Gagasan Wundt dilanjutkan oleh salah seorang muridnya yakni Edward Titchener. Disamping itu, apa yang telah dilakukan oleh Wundt mendorong para ahli psikologi lainnya untuk mengadakan penelitian-penelitian psikologi lebih lanjut.

4.      Kerangka Dasar Teori Psikologi
Para psikolog dalam membangun teori-teori psikolgi dalandaskan pada beberapa pendekatan berikut, yaitu :
a.       Pendekatan yang mengkaitkan (mensintesiskan) hasil temuan dengan studi yang sedang di kerjakan (related studies).
b.      Pendekatan yang mengkaitkan (mensintesiskan) hasil temuan dengan beberapa model yang fokus pada beberapa proses atau sub-proses studi psikologi (miniature model).
c.       Pendekatan yang mengkaitkan hasil temuan dengan beberapa teori yang komprehensif agar diperoleh teori psikologis yang komprehensif pula (comprehensive theory)
d.      Mewujudkan kesepakatan untuk membangun satu teori yang diterima bersama sebagai kerangka dasar untuk mengembangkan teori psikologi yang komprehensif.
e.       Berdasarkan pendekatan keempat di atas muncul aliran-aliran dan pandangan psikologi yang berbeda sehingga terjadi persaingan satu sama lainnya, menuju kepada teori psikologi komprehensif.
f.       Pendekatan yang berorientasi kepada penelitian psikologi yang terintegrasikan dengan teori perilaku atau ilmu sosial.
Keenam pendekatan tersebut terlihat hampir dalam setiap tahap perkembangan sejarah psikologi yang dimulai pada akhir abad 19. Ada empat periode, pengembangan teori psikologi dan belajar yaitu pertama, akhir abad ke-19 yang ditandai dengan timbulnya psikologi sebagai ilmu. Kedua, periode pertama abad ke-20 yang melahirkan beberapa aliran psikologi yang saling bersaingan. Ketiga, Periode tahun 1930-1950 yang ditandai dengan teori psikologi dan belajar komprehensif. Keempat, periode pertengahan abad ke-20 yakni periode yang ditandai dengan banyaknya psikolog mengadopsi pendekatan model miniatur dalam menyusun teorinya.

5.      Peranan Teori dalam Kegiatan Belajar
Manusia telah dikaruniai akal dan hati oleh Allah SWT. Dengan akal dan hatinya, manusia memiliki kedudukan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan makhluk lain. Akal dan hati yang dimiliki manusia harus dapat digunakan secara baik. Oleh sebab itu, setiap manusia dituntut untuk selalu belajar agar akal dan hatinya dapat digunakan dengan baik dan tepat. Proses belajar yang dilakukan manusia dapat berlangsung setiap saat. Proses belajar yang dilakukan manusia tidak selalu berhasil, bahkan seringkali proses belajar berujung pada kegagalan. Kegagalan dalam proses belejar merupakan hal yang biasa dan wajar.
Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali kita melaksanakan proses belajar berlangsung secara alamiah tanpa didasarkan pada teori yang tepat. Akibatnya proses belajar yang kita lakukan tidak dapat berhasil secara efektif dan efisien. Untuk mengurangi kegagalan dalam proses belajar, maka diperlukan landasan teoritik yang mampu menuntun pelaksanaan belajar. Dengan teori belajar, seseorang dapat memilih dan menentukan metode, alat, dan materi yang akan dipelajari secara tepat.
Menurut Suppes (dalam Bell, 1991), secara umum teori itu memiliki empat fungsi, yaitu:
a.       Teori berfungsi sebagai kerangka kerja dalam melakukan penelitian
b.      Teori memberikan suatu kerangka kerja bagi pengorganisasian butir-butir informasi
c.       Teori dapat mengungkapkan komplekitas peristiwa-peristiwa yang kelihatannya sederhana
d.      Teori dapat mengorganisasikan kembali pengalaman-pengalaman sebelumnya

Proses belajar dapat berlangsung dimana saja dan kapan saja. Hal ini menunjukkan bahwa proses belajar tidak hanya berlangsung di sekolah saja, akan tetapi proses belajar dapat terjadi di luar sekolah. Dalam proses belajar di sekolah, teori belajar memiliki peranan penting, diantaranya:
a.       Teori belajar dapat berperan untuk mengurangi kegagalan hasil belajar. Dengan kata lain, teori belajar dapat menjadikan hasil belajar lebih optimal.
b.      Teori belajar dapat berperan dalam pemilihan metode, media, materi dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi hasil belajar para siswa.
c.       Teori dapat berperan dalam mencegah munculnya hambatan-hambatan yang mungkin terjadi dalam proses belajar. Karena dengan teori belajar akan dapat diprediksi faktor-faktor yang akan menghambat dalam proses belajar.
d.      Teori belajar dapat berperan sebagai penuntun dalam pelaksanaan belajar. Dengan teori belajar, guru akan mudah melakukan tahap-tahap pembelajaran sesuai dengan teori belajar yang digunakannya.
6.      Aliran-Aliran Psikologi antara 1900-1930.
Setelah psikologi muncul sebagai ilmu pada akhir abad ke-19 timbul beberapa konsepsi dan aliran psikologi yang saling bersaing satu sama lain untuk mendapatkan pengaruhnya terhadap studi psikologi lebih lanjut. Ada lima aliran psikologi pada masa tahun 1900-1930 yakni strukturalisme, fungsionalisme, behaviorisme, psikologi gestalt dan psikoanalisa.
a.       Strukturalisme
Strukturalisme merupakan psikologi model Wundt yang dibawa oleh Edward Titchener ke Amerika. Ia mendirikan laboratorium psokologi yang pertama di Amerika yaitu di Cornel University. Dalam penelitian dan percobaannya Titchener menekankan perlunya analisis kesadaran menjadi unsur-unsur yang disebutnya struktur . Menurut pendapatnya bahwa psikologi merupakan ilmu murni bukan ilmu terapan. Titchener menganalisis dan mengidentifikasi kesadaran manusia. Asumsi yang digunakannya adalah bahwa kesadaran yang kompleks terdiri dari unsur-unsur atau elemen dasar dan kombinasi dari unsur dasar itu (mental atoms), secara bersama membentuk pengalaman kognitif seperti persepsi, imajinasi, emosi dan pikiran .
b.      Functionalism
Penemu fungsionalisme adalah John Dewey, yang diikuti oleh James Angell, Harvey Carr, dan lain-lain. Mereka menaruh perhatian pada fungsi pengalaman dalam membantu individu mengadaptasi atau menyesuaikan dengan lingkungannya. Kawasan fungsionalisme meliputi kegiatan manusia dan hewan. Mereka menerima instropeksi sebagai metode studinya, tetapi mereka juga menekankan akan pengamatan objektif yang terkontrol. Mereka sangat terpengaruh oleh pendapat Darwin bahwa spesies bertahan dan menghasilkan keturunan karena keberhasilannya mengatasi kebutuhan lingkungan yang berubah. Sebagaimana tersirat pada namanya, kalangan fungsionalis sangat tertarik pada aktivitas-aktivitas manusia, bukan semata-mata dalam hubungannya dengan unsur-unsur pengalaman mental, tetapi juga terutama dalam fungsi-fungsi adaptasi dalam menghadapi lingkungannya. Ilmuwan fungsionalis memperluas domain psikologi untuk dapat memasukkan seluruh aktivitas manusia sekaligus binatang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, aliran fungsionalisme mempelajari fungsi dari tingkah laku atau proses mental, bukan hanya mempelajari strukturnya. Oleh karena itu, perhatiannya kepada aktifitas psikologis dan tujuan dari aktifitas tersebut. Dua aspek lain dari fungsionalisme adalah (1) hal-hal yang bersifat “coommon sense” tidak ditolak secara kategoris, tetapi dianggap sebagai informasi ilmiah yang timbul. (2) tidak ada perbedaan antara psikologi murni dan psikologi terapan.
Oleh karena itu perlu digunakan metode observasi tingkah laku. Ada dua macam metode observasi tingkah laku yakni metode phisiologis yang menguraikan tingkah laku dari sudut anomi dan metode variasi kondisi yang mempelajari tingkah laku dari sudut psikologis. Sedangkan metode instropeksi digunakan sebagai pelengkap metode observasi.
Pemikiran Dewey sebagai penemu aliran fungsionalisme di Amerika, sangat mengutamakan pragmatisme yakni memberi tekanan kepada apa kegunaan dari pada jiwa atau tingkah laku tersebut. Pemkiran ini membawa pengaruh yang kuat terhadap pendidikan. Dalam bidang pendidikan ia mengajurkan metode belajar “learning by doing”. Dewey berpendapat untuk mempelajari sesuatu tidak perlu mempelajari teori yang banyak, tapi harus langsung melakukan apa yang hendak dipelajari tersebut. Untuk itu harus menguasai gerakan/perbuatan yang tepat agar dapat dipelajari secara sempurna .
Minat terakhir dalam permasalahan terapan, termasuk isu-isu pendidikan, mungkin berkembang sebagian karena fungsionalisme muncul sebagai aliran ilmu pengetahuan ketika para ilmuwan psikologi di negara ini diminta untuk membantu mencari solusi permasalahan sosial ini. Tetapi, pengaruh personal Dewey tidaklah bisa diremehkan. Terutama sebagai filosof, dengan beberapa training sebelumnya sebagai pakar psikologi, Dewey menjadi salah satu pendidik terkemuka zaman ini.
c.       Behaviorisme
Aliran behaviorisme dimulai oleh John B. Watson. Menurut Watson perilaku yang seharusnya menjadi subjek pokok psikologi bukan kesadaran akal (mind) . Psikologi harus cukup luas untuk menampung perilaku dari semua organisme hidup. Metode instropeksi menurutnya terlalu subjektif bertitik tolak pada konsep refleks dari neorologi (ilmu syaraf). Watson berpendapat studi psikologi hendaknya mempelajari respon organisme terhadap stimuli. Muncullah formula “S – R” (stimulus – Respons). Watson berpendapat bahwa idenntifikasi unit S – R menyerupai refleks yang membentuk perilaku sederhana dan perilaku yang kompleks.
Walaupun beberapa perilaku dasar manusia diperoleh secara turun temurun, sebagian besar perilaku manusia dan hewan merupakan hasil belajar. Dengan demikian pusat perhatian pindah dari studi akal menjadi studi perilaku dengan tekanan khusus pada proses belajar, Watson berpendapat psikologi harus menjadi ilmu yang objektif. Psikologi harus mempelajari tingkah laku nyata (tingkah laku overt) disamping tingkah laku yang tidak tampak dari luar seperti berpikir dab beremosi. Tingkah laku yang tidak nyata disebutnya tingkah laku kovert.
Behaviorisme tidak menutup kemungkinan untuk mempelajari tingkah laku kovert sepanjang dapat diterangkan dalam perbuatan implisit. Berpikir menurut Watson adalah gerak bicara yang implisit atau bicara yang tidak tampak. Pengaruh Watson dalam bidang pendidikan cukup penting. Ia menekankan pentingnya pendidikan dalam perkembangan tingkah laku. Ia percaya dengan memberikan kondisioning tertentu dalam proses pendidikan, dapat membuat anak didik mempunyai sifat-sifat tertentu. Pengaruh lainnya terhadap psikoterapi, yakni penggunaan teknik kondisioning untuk menyembuhkan kelainan tingkah laku.
Terdapat beberapa aspek dari faham funcsionalist dan behaviorsm yang berlawanan dengan faham structuralist yang berkaitan dengan psikologi pembelajaran yaitu pertama, Pembelajaran menjadi aspek yang lebih penting dan mendominasi dalam penelitian psikologi pada ranah belajar. Kedua, Tujuan ataupun purpose yang lebih besar adalah permintaan dalam proses experiment psikologi sebagai hasil langsung merupakan penemuan baru dalam objek studi perilaku. Ketiga, Menggambarkan tentang reflex neurologi yaitu rangsangan respon (S-R) yang menjadi dasar studi prilaku simple dan complex dan sebagai suatu pembaharuan dalam psikologi teori.
d.      Gestalt Psychology
Aliran gestalt muncul dari psikologi Jerman-Max Werheimer, Wolfgang Kohler dan Kurt Koffka. Psaikologi Gestalt dimulai dengan studi tentang persepsi. Gestalt berarti susunan atau perkumpulan. Gestalt psykologi mengungkapkan bahwa pembelajaran lebih ditekankan pada bagaimana caranya memecahkan suatu masalah. Faham ini merupakan perkembangan dari faham structuralism dan behaviorist. Pandangan psikologi gestalt (psikologi kognitif) bahwa tingkah laku individu dikontrol oleh kemampuan organisme dan lingkungannya. Oleh karena itu poin esensial dari psikologi Gestalt adalah bahwa keseluruhan lebih bermakna dari bagian-bagian. Jadi tidak benar bila memberikan penekanan pada unsur-unsur dasar fundamental. Gestalt mengutamakan pada bentuk, konfigurasi atau bentuk-bentuk yang terlibat dalam pengalaman seseorang secara keseluruhan mengenai suatu situasi. Gestalt setuju dengan para strukturalisme bahwa psikologi adalah studi tentang pengalaman, tapi mereka menganjurkan menggunakan pengamat yang telah dilatih sehingga dapat melaporkan persepsi apa adanya. Ada beberapa perbedaan antara aliran Gestalt dengan aliran behaviorisme.
Menurut Gestalt, apa yang dilakukan manusia merupakan fungsi keturunan, sedangkan behaviorisme beranggapan bahwa apa yang dilakukan seseorang merupakan fungsi belajar. Pengikut behaviorisme mengatakan bahwa belajar dapat dipelajari dalam unit-unit S – R, sedangkan pengikut Gestalt mengatakan bahwa kegiatan kognitif sangat komplek dan perlu dipelajari secara keseluruhan, sehingga studi tentang belajar harus terdiri dari problem solving.
Aliran Behaviorisme dan Gestalt sering disebut aliran kontemporer yang mengkritik aliran ortodoks dari Wundt. Perbedaannya, kalau aliran behaviorisme tidak sependapat dengan kesadaran, tetapi lebih menekankan pada tingkah laku nyata. Sedangkan aliran Gestalt masih mengakui kesadaran namun tidak terpisah pisah dalam bentuk elemen-elemen, melainkan dalam bentuk yang utuh (totalitas). Ciri utama dari aliran Gestalt adalah mempelajari gejala sebagai suatu keseluruhan atau totalitas .
e.       Psikoanalisa
Psikoanalisa dikembangkan oleh Sigmund Freud . Freud mengungkapkan bahwa psikoanalisa merupakan induk dari pada semua teori dan method dalam penelitian.
Sebagian besar aliran yang berkembang pada era ini, termasuk semua aliran yang disebutkan di atas, dikembangkan sesuai dengan penelitian laboratorium dengan komitmen utama atau bahkan total pada berbagai temuan ‘ilmu murni’. Sigmund Freud menemukan posisinya sesuai dengan praktek medis. Walau psikoanalisis itu memiliki kontak tak-langsung dari pada langsung dengan psikologi pembelajaran dan praktek pendidikan, aliran ini memiliki dampak memadai terhadap psikologi sebagai ilmu dan profesi sehingga review kita tentang sistem-sistem pembelajaran zaman ini tidak akan sempurna tanpa setidaknya mengakui keberadaannya, serta banyak kontribusi yang diberikannya.
Ia mengembangkan sejumlah prosedur untuk memperlakukan para pasien, selain mengembangkan teori karena ia tertarik untuk dapat memahami masalah yang mendasari dan penjelasan tentang mengapa teori ini bekerja. Meskipun konsepsi psikoanalisis Freud tak secara langsung berhubungan dengan proses-proses pembelajaran atau dengan pendidikan semata, ada sejumlah cara langsung dan tidak langsung di mana psikoanalisis dapat mempengaruhi teori pembelajaran dan teori pengajaran yang sedang berkembang. Misalnya, ia sudah mengalihkan perhatian pada fakta bahwa banyak karakteristik kepribadian orang dewasa kita punya asal-mula pada pengalaman masa kanak-kanak. Ia mengamati bahwa semua jenis perubahan, termasuk pembelajaran dan pendidikan informal, bisa menimbulkan kecemasan dan umumnya dapat membentuk pengalaman yang lebih sulit dibanding pengalaman yang jelas terlihat dalam pengamatan per kasus.
Freud mempopulerkan konsep “bawah-sadar” sebagai determinan utama perilaku manusia. Ia juga mengembangkan tesis bahwa semua jenis perubahan—termasuk pembelajaran—cenderung mengendapkan sejumlah kecemasan pada diri seseorang.
Pada periode 1900-1930 terdapat tiga pandangan mengenai belajar, yaitu koneksionisme dari Edward Thorndike, Kondisioning klasik, dan teori gestalt (Bell, 1991).
Mulai tahun 1911 – 1924, Edward Thorndike telah melakukan serangkaian penelitian yang terkait dengan teori belajar. Pada tahun 1911 – 1913, Edward Thorndike mulai melakukan penelitian dengan hewan. Dari penelitiannya melahirkan tiga hukum belajar yang meliputi; hukum efek, hukum latihan, dan hukum kesiapan.
Kemudian Thorndike mulai melakukan penelitian di dalam proses pembelajaran. Dalam penelitiannya, Thorndike menemukan dua hal penting. Pertama, bahwa berlatih dalam tugas tertentu memudahkan belajar diwaktu kemudian hanya untuk tugas yang serupa, tidak untuk tugas yang tidak serupa. Kedua, Throndike menolak faham disiplin mental yang menyatakan bahwa mempelajari kurikulum tertentu terutama matematika dan bahasa-bahasa klasik akan meningkatkan fungsi intelek. Berdasarkan penelitian Thorndike, mempelajari kurikulum tertentu tidak mempengaruhi fungsi intelektual.
Hasil penelitian Thordike kemudian dikembangkan melalui teori kondisioning klasik yang motori oleh Pavlov dan Watson. Pavlov menemukan bahwa bahwa hubungan stimulus respon reflek itu tidak terkondisikan. Pada awalnya, refleks muncul tidak terkondisi menjadi terkondisi setelah muncul stimulus baru.
Watson memberikan sumbangan bahwa kepribadian berkembang melalui kondisioning berbagai refleks. Ia berpendapat bahwa manusia pada saat lahir hanya memiliki tiga respon emosi, yaitu takut marah, dan sayang.
Kemudian lahir teori gestalt yang menentang teori yang dikemukakan tokoh koneksionisme dan kondisioning klasik. Menurut teori gestalt, seseorang dalam menanggapi sesuatu hal bersifat komprehensif atau menyeluruh. Dalam menggapai sesuatu hal bukanlah disebabkan oleh faktor yang tunggal, tetapi mengkap sesuatu hal secara menyeluruh.


7.      Era Teori Belajar Comprehensive antara 1930-1950.
Periode 1930-1950, teori belajar behavioristik maupun teori gestalt mengalami perkembangan. Pengembangan teori behvioristik dilakukan oleh Clark Hull, Edwin Guthrie, dan B.F. Skiner. Teori yang dikembangkan oleh tiga tokoh tersebut sering disebut teori S-R (Stimulus – Respon). Teori yang dikembangkan oleh ketiga tokoh tersebut sering disebut sebagai neobehavioris (Bell, 1991).
Hull berpendapat bahwa tingkah laku itu berfungsi untuk menjaga agar organisme itu tetap bertahan hidup. Konsep pokoknya, bahwa kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan merupakan hal penting untuk kelangsungan hidup. Hull berpendapat bahwa, kebutuhan dikonsepkan sebagai dorongan (drive). Stimulus yang sering disebut stimulus dorongan (SD) sebagai dorongan primer, karena yang mendorong munculnya tingkah laku. Penguatan tingkah laku merupakan kondisi biologis merupakan pemuasan kebutuhan biologis.-, kemudian disebut reduksi dorongan Pemuasan kebutuhan biologis disebut reduksi dorongan (drive reduction).
Edwin Guthrie memunculkan hukum kontiguiti, yang menyatakan bahwa gabungan stimulus-stimulus yang muncul disertai gerakan, maka apabila stimulus itu muncul kembali akan disertai gerakan yang sama. Edwin Guthrie berpendapat bahwa penguatan bukanlah faktor yang penting. Penguatan hanyalah berfungsi sebagai penjaga hasil belajar agar tidak hilang. Sumbangan Guthrie lainnya adalah teori menghilangkan kebiasaan. Untuk menghilangkan kebiasaan buruk, maka orang perlu menghapus stimulus yang menimbulkan tingkah laku dan respons. Kemudian Guthrie melalui teori penggunaan hukuman berpendapat bahwa hukuman yang diberikan secara tepat dapat menyebabkan seseorang berbuat lain.
B.F Skiner telah menyumbangkan teori kondisioning operan. Dalam konteks belajar, Skiner berpendapat bahwa belajar ialah tingkah laku. Belajar didefiniskan sebagai perubahan munculnya respon. Dalam melakukan penelitian tingkah laku belajar, teori kondisioning operan memiliki enam asumsi (Bell, 1991). Keenam asumsi tersebut adalah:
a.       Belajar itu adalah tingkah laku
b.      Perubahan tingkah laku secara fungsional terkait dengan perubahan yang terjadi dalam lingkungannya
c.       Hubungan antara tingkah laku dengan lingkungan hanya dapat diteliti melalui eksperimen yang dikontrol seksama
d.      Hasil eksperimen merupakan satu-satunya sumber informasi yang dapat diterima untuk menentukan penyebab terjadinya tingkah laku.
e.       Tingkah laku organisme secara individual merupakan data yang cocok
f.       Dinamika interaksi organisme dengan lingkungannya itu memiliki kesamaan untuk semua jenis makhluk hidup
Pengembangan teori gestalt pada periode 1930 -1950 dilakukan oleh Tolman dan Kurt Lewin. Tolman berpendapat bahwa belajar bukan hal berkaitan dengan S-R. Dalam proses belajar, subjek menangkap peristiwa kritis untuk mencapai tujuan yang disebut tanda gestalt ekspektasi. Menurut Tolman, terjadinya proses belajar disebabkan subjek belajar memiliki pengharapan-pengharapan tertentu dalam situasi belajar. Jadi belajar bukanlah berkaitan adanya S-R, tetapi belajar lebih disebabkan adanya pengharapan.
Pengembang teori gestlat lainnya adalah Kurt Lewin melalui teori medan. Kurt Lewin berpendapat bahwa terjadinya perubahan itu disebabkan adanya dorongan psikologi dalam diri individu. Hal ini menunjukkan bahwa Lewin menitik beratkan pentingnya motivasi.

8.      Periode 1950 – sekarang
Periode 1950 – 1975 merupakan periode penting dalam perkembangan teori belajar. Ada empat teori yang mendominasi periode ini. Keempat teori tersebut adalah; a.teori operan kondisioning dari B.F Skiner; b. teori perkembangan kognitif dari Jean Piaget; 3. teori belajar dari Robert Gagne; dan 4. teori ancangan kognitif terhadap pengembangan kurikulum dari Jerome Bruner (Bell, 1991).
Kemudian teori belajar pada periode 1975 – sekarang didominasi oleh teori yang dikembangkan oleh psikologi kognitif. McKeachi dan Bandura merupakan tokoh penting dalam pengembangan psikologi kognitif pada periode ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar